(Biografi Syekh Abdul Aziz Al-Badri)
Menyampaikan kebenaran kepada para penguasa yang dzalim. Berdakwah lewat tulisan, lisan, dan perbuatan.
SYEKH Abdul Aziz Al Badri (Lahir di kota Samira’, Irak, tahun 1929), terlahir dari lingkungan Islami yang berjuang untuk dakwah. Masa kecilnya diisi dengan tarbiyah Islamiyah yang intensif. Sejumlah ulama besar di Baghdad, seperti Syekh Amjad Az-Zahawi, Syekh Muhammad Fuad Al-Alusi, Syekh Abdul Qadir Al-Khatib pernah menjadi gurunya.
Abdul Aziz dikenal sebagai seorang ulama yang kritis terhadap para penguasa. Sebagai kritisi atas perilaku para penguasa, sudah menjadi ciri khas ulama yang satu ini. Seakan hendak mengikuti jejak Hamzah–paman Nabi saw–sebagai penghulu para syuhada, Syekh Abdul Aziz Al-Badri adalah ulama pemberani yang berdiri di hadapan penguasa, mengatakan yang haq, menasehati para pemimpin negeri agar taat terhadap hukum-hukum Allah SWT. Karena itu pula ia menjemput syahid.
Jalan dakwah adalah pilihan yang telah dimantapkan oleh Syekh Abdul Aziz Al Badri. Jalan dakwah tersebut dijalaninya dengan penuh semangat, keberanian dan teladan yang baik, sebagaimana para salafus saleh terdahulu. Kesibukan sehari-harinya selalu diwarnai dengan dakwah, memberikan nasihat, pengarahan dan khotbah, di masjid-masjid di Baghdad, dan lain-lain. Kepiawaiannya dalam berdakwah tak diragukan lagi. Ia adalah seorang orator ulung, berani dalam menyatakan yang haq, penuh semangat ketika mendakwahkan Islam dan selalu siap beradu argumentasi terhadap ide-ide destruktif di luar Islam. Abdul Aziz selalu siap menantang mereka di mana dan kapan saja, mematahkan argumentasi, menyingkap kebobrokan dan kepalsuan ide-ide serta strategi-strategi mereka, hingga mereka berpaling darinya.
Dalam buku Hukmul Islam fil Isytirakiyah, Abdul Aziz menentang habis-habisan pendapat yang menyatakan adanya sosialisme dalam Islam. Dalam kata pengantar buku tersebut yang ditulis oleh Syekh Amjad Az-Zahawi, ditulis, “Ketika tersebar pendapat ada bentuk sosialisme tertentu dalam Islam, Syekh Abdul Aziz Al-Badri segera mengkaunter perkataan tersebut, dengan menjelaskan tidak ada sosialisme dalam Islam. Sosialisme justru bertentangan dengan hukum-hukum Islam yang mulia dan kaedah-kaedah Islam menolaknya. Dalam mengkaunter ide-ide menyimpang tersebut, Abdul Aziz Al Badri selalu menggunakan bahasa yang gamblang dan didukung oleh dalil-dalil qath’i sehingga tidak ada ruang untuk ragu-ragu, karena sesuai dengan nash-nash syariat yang qath’i.
Pemikiran Syekh Abdul Aziz Al Badri banyak dipengaruhi oleh pemikiran Syekh Taqiyuddin An Nabhany(pendiri Hizbut Tahrir) , terutama mengenai ide-ide kebangkitan umat, perbandingan ideologi dan fiqh daulah. Untuk menyerbarkan ide-idenya itulah ia menulis buku, di antaranya adalah:
Al-Islam bainal Ulama wal Hukkam
Hukmul Islam fil Isytirakiyah
Al-Islam alal Isytirakiyah war Ra’sumaliyah
Al-Islam Dhaminul Hajat Al-Asasiyah li Kulli Fard
Kitabullah Al-Khalid Al-Qur`anul Karim
Dalam bukunya Al-Islam bainal Ulama’ wal Hukkam, Syekh Abdl Aziz Al Badri menjelaskan perjalanan hidup ulama salaf, ulama aktivis, dan fuqaha mujahidin, yang menghadapi kedzaliman dan orang-orang dzalim, dalam memperjuangkan izzul Islam wal muslimin. Buku tersebut mengisahkan teladan-teladan dakwah yang rela berjuang dan berani menghadapi penguasa dzalim demi terucapnya kalimat haq. Disebutlah Said bin Al Musayyib, Said bin Jubir, Ja’far Ash-Shadiq, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Ibnu Hanbal, Syafi’i, Al-Bukhari, Izz bin Abdus Salam, dan Ibnu Taimiyah.
Selain itu, buku tersebut juga menceritakan tentang jihadnya para ulama, seperti Abdullah bin Al-Mubarak, Ibnu Taimiyah, Asad bin Furat, dan lain-lain. Ia juga membahas sikap ulama khalaf, seperti Ahmad As-Sirhindi, Ahmad bin Irfan Al-Hindi, Izzuddin Al-Qassam, Abdul Qadir Al-Jazairi, Muhammad Al-Mahdi, Ahmad As-Sanusi, Umar Al-Mukhtar, ulama aktivis, dan pejuang yang tulus lainnya.
Ustadz Abdullah Al-Husaini dalam kata pengantar buku Syekh Abdul Aziz Al-Badri berjudul Al-Islam bainal Ulama wal Hukkam pada cetakan kedua yang diterbitkan oleh Darul Qalam Kuwait tahun 1986 menulis, “Pada perang 1967, Yahudi menyerbu Al-Quds, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Sinai, selama enam hari atau bahkan enam jam. Syekh Al-Badri kelihatan marah sekali. Beliau mengirim telegram kepada pemimpin negara-negara Islam, membebankan pada mereka tanggung jawab terhadap Al-Quds, dan menuduh orang-orang yang menyetujui gencatan senjata sebagai penghianat. Ia juga membentuk delegasi nasional Islam yang berkeliling ke dunia Islam, untuk mendorong kekuatan dan massa Islam bangkit memikul tanggung jawab terhadap krisis ini dan menegaskan Islam bukan sebab kekalahan, karena di perang sama sekali tidak ada nama Islam. Delegasi ini mengunjungi India, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Iran, dan Afghanistan.
Setelah delegasi tersebut kembali ke Baghdad, Syekh Abdul Aziz Al-Badri menyelenggarakan konferensi pers untuk menjelaskan apa yang ia saksikan di dunia Islam, yaitu potensi yang tidak tergarap, padahal seharusnya dapat didayagunakan untuk membantu kasus Palestina. Ia tidak setuju krisis ini dikatakan krisis lokal dunia Arab saja, bukan krisis umum dunia Islam yang luas. Ia khawatir penyempitan area krisis ini terus berlanjut, sebab itu berarti kelak krisis Palestina menjadi persoalan internal bangsa Palestina saja.”
Keberanian Al-Badri dalam menyampaikan kebenaran tidak pilih-pilih. Dalam setiap kesempatan, baik itu khutbah ataupun ceramah-ceramah ke-Islaman, Syekh Abdul Aziz Al-Badri selalu menyampaikan kalimat haq walaupun dihadapan penguasa. Abdul Karim Qasim, penguasa Baghdad pada saat itu, memerintah dengan ‘tangan besi’. Dia menobatkan dirinya sebagai “Penguasa Tunggal”. Tindakan ini langsung dikomentari oleh Al-Badri dengan menjuluki Abdul Karim Qasim sebagai ‘Orang kaku, kasar, dan terkenal kejahatannya’.”
Koreksi Syekh Abdul Aziz Al-Badri terhadap pemerintah mencapai puncaknya ketika Abdul Karim Qasim menetapkan hukuman mati kepada sebagian komandan pasukan yang ikhlas, seperti Nazhim Ath-Thabqajali, Rafa’at Haji Siri, dan lain-lain. Syekh Abdul Aziz Al-Badri pun menggerakkan massa dan memimpin demonstrasi besar yang jumlahnya diperkirakan mencapai empat puluh ribu demonstran. Semuanya menuntut lengsernya Abdul Karim Qasim. Syekh Abdul Aziz Al-Badri juga mengeluarkan fatwa memvonis kafir orang-orang komunis yang menjadi pembela dan pendukung Abdul Karim Qasim. Abdul Aziz Al-Badri menuntut memerangi dan menggagalkan rekayasa jahat mereka.
Atas tindakan tersebut, Abdul Karim Qasim akhirnya menetapkan status tahanan rumah kepada Syekh Abdul Aziz Al Badri selama setahun penuh dari 2 Desember 1959 sampai 7 Agustus 1960. Namun, perjuangan Al Badri tidak terhenti hanya karena tahanan rumah tersebut. Ketika hukuman ini dicabut, Abdul Aziz Al Badri tidak menghentikan khotbah-khotbahnya, memobilisasi massa untuk melawan Abdul Karim Qasim dan antek-anteknya. Atas tindakannya tersebut, kembali ia dijatuhi hukuman untuk kedua kalinya, dengan menetapkan status tahanan rumah.
Catatan :
Beliau wafat karena kekejaman rezim Saddam Hussain , mengenai kekejaman saddam ini, Dr. Abbas Bakhtiar menulis : Diantara ratusan eksekusi dan pembunuhan , Saddam juga bertanggungjawab terhadap pembunuhan tokoh-tokoh agama dari Sunni seperti Sekh Abdul Aziz Al Badri , Al Shaikh Nadhum Al Asi, Al Sekh Al Shahrazori, Al Shekh Umar Shaqlawa, Al Shekh Rami Al Kirkukly, Al Shekh Mohamad Shafeeq Al Badri, Abdul Ghani Shindaladll ”( September 30, 2009 — titok priastomo)
Sunday, January 10, 2010
Sunday, November 15, 2009
Amat Hina Mereka Yang Menyamakan Islam Dengan Demokrasi
Betapa rosak dan hinanya cara berfikir para pemimpin umat Islam hari ini yang menyatakan Islam seiring dengan demokrasi. Inilah hasil dari pemikiran sekular yang tertancap kukuh di benak pemikiran para pemimpin ini. Sungguh malang bagi umat Islam hari ini apabila para pemimpin mereka tidak dapat membezakan antara hak dengan yang batil, tidak dapat memisahkan cahaya dan kegelapan dan yang paling hina, tidak dapat memilih dengan betul antara Islam dan kekufuran. Nampaknya musuh-musuh Islam telah berjaya menjadikan para pemimpin sekular ini jurubicara mereka ditengah-tengah kehidupan umat Islam hari ini. Mereka ini tidak lain merupakan produk Barat yang berjaya dicetak pemikirannya agar selari dan seiring dengan kehendak Barat.
Wahai para pemimpin sekular umat Islam! Apakah kamu sedar apa yang telah kamu perkatakan? Kamu begitu berani menyamakan Islam dengan sistem kufur demokrasi. Apakah kamu sedar bahawa tidak ada Deen yang lebih tinggi dari selain Islam. Sabda Rasulullah SAW: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya”. Hanya Islamlah satu-satunya ad-Deen/cara hidup yang diterima oleh Allah SWT.
"Sesungguhnya agama (yang benar dan diredai) di sisi Allah ialah Islam". [TMQ A-li ‘Imraan (3) :19].
"Dan sesiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka tidak akan diterima daripadanya, dan dia pada hari akhirat kelak dari orang-orang yang rugi". [TMQ A-li ‘Imraan (3) : 85].
Dalil-dalil al-Quran dan hadith di atas begitu jelas! Lantas kenapakah kamu begitu berani menyamakan Islam dengan demokrasi?
Wahai para pemimpin sekular umat Islam! Islam adalah Deen yang datangnya dari Allah SWT sementara demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diciptakan oleh manusia! Mana mungkin Islam seiring dengan demokrasi!
Wahai para pemimpin sekular! Tidakkan kamu sedar bahawa Rasulullah SAW diutus dengan ad-Deen yang haq berserta al-Quran mulia untuk diizharkan mengatasi agama / sistem kehidupan yang lain?
“Dialah yang telah mengutus RasulNya (Muhammad) dengan membawa petunjuk dan agama yang benar (agama Islam), untuk dimenangkan dan ditinggikannya atas segala agama yang lain, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya”. [TMQ At-Taubah (9) : 33].
Janganlah kamu menambahkan lagi kehinaan ke atas kamu dengan terus mengekalkan dan mempertahankan sistem kufur Barat, malah menyamakannya dengan Islam!!
Dari Mykhilafah.com
Wahai para pemimpin sekular umat Islam! Apakah kamu sedar apa yang telah kamu perkatakan? Kamu begitu berani menyamakan Islam dengan sistem kufur demokrasi. Apakah kamu sedar bahawa tidak ada Deen yang lebih tinggi dari selain Islam. Sabda Rasulullah SAW: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya”. Hanya Islamlah satu-satunya ad-Deen/cara hidup yang diterima oleh Allah SWT.
"Sesungguhnya agama (yang benar dan diredai) di sisi Allah ialah Islam". [TMQ A-li ‘Imraan (3) :19].
"Dan sesiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka tidak akan diterima daripadanya, dan dia pada hari akhirat kelak dari orang-orang yang rugi". [TMQ A-li ‘Imraan (3) : 85].
Dalil-dalil al-Quran dan hadith di atas begitu jelas! Lantas kenapakah kamu begitu berani menyamakan Islam dengan demokrasi?
Wahai para pemimpin sekular umat Islam! Islam adalah Deen yang datangnya dari Allah SWT sementara demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diciptakan oleh manusia! Mana mungkin Islam seiring dengan demokrasi!
Wahai para pemimpin sekular! Tidakkan kamu sedar bahawa Rasulullah SAW diutus dengan ad-Deen yang haq berserta al-Quran mulia untuk diizharkan mengatasi agama / sistem kehidupan yang lain?
“Dialah yang telah mengutus RasulNya (Muhammad) dengan membawa petunjuk dan agama yang benar (agama Islam), untuk dimenangkan dan ditinggikannya atas segala agama yang lain, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya”. [TMQ At-Taubah (9) : 33].
Janganlah kamu menambahkan lagi kehinaan ke atas kamu dengan terus mengekalkan dan mempertahankan sistem kufur Barat, malah menyamakannya dengan Islam!!
Dari Mykhilafah.com
Friday, November 13, 2009
Husnul dzhan
Pertemuan diantara wanita dan lelaki sehingga terbitnya perasaan sayang dan cinta merupakan lumrah yang dianugerahkan oleh Allah S.W.T.Ia bukanlah sesuatu yang menghairankan.Perasaan yang ingin memiliki dan dimiliki.Semua manusia yang normal pasti akan rasa seperti itu .Adakah pelik kalau kita ni telah di miliki oleh seseorang insan, yang dari segi pandangan orang lain, kita ini tidak patut di miliki jikalau ada faktor lain.Contohnya kalau setakat muka macam ini, gelap atau hitam, badan gempal atau gemuk. Ini tidak lain, mesti ada sebab lain seperti berharta, ada kereta besar, rumah besar.Memang tidak di nafikan ada juga yang seperti itu.Tetapi adakah sebab atau faktor itu semata-mata kita telah memegangnya sebagai dhalil yang qatie' sehingga kita menghukum semua orang seperti itu.Adalah malang jika sifat kita ini suka memandang serong pada orang lain dengan pandangan yang negatif seperti itu. Memang hati kita kadang-kadang terasa pedih di sebabkan pandangan orang lain, tapi kita cuba redha, seperti yang terkandung dalam firman Allah S.W.T.
" Dan alangkah baiknya jika mereka redha dengan apa yang Allah dan Rasulnya berikan kepada mereka sambil mereka berkata : ' Cukuplah Allah bagi kami , Ia dan Rasulnya akan berikan pada kami kurnianya ,Sesungguhnya pada Allah kami menuju ".
( Surah At Taubah : Ayat 59 )
Bersyukur dengan apa yang dikurniakan oleh Allah pada penulis, dari segi wajah dan fizikal.walaupun orang lain fikir kita memang tidak layak di miliki orang itu, tetapi disebabkan ada kereta patut la dia dimilik.Biar la pandangannya dengan pandangannya terhadap kita. Tapi kita masih ada Allah, hanya pandangan Allah yang patut kita beratkan dari pandangan orang biasa seperti itu.
luahan AhmadNasrullah
" Dan alangkah baiknya jika mereka redha dengan apa yang Allah dan Rasulnya berikan kepada mereka sambil mereka berkata : ' Cukuplah Allah bagi kami , Ia dan Rasulnya akan berikan pada kami kurnianya ,Sesungguhnya pada Allah kami menuju ".
( Surah At Taubah : Ayat 59 )
Bersyukur dengan apa yang dikurniakan oleh Allah pada penulis, dari segi wajah dan fizikal.walaupun orang lain fikir kita memang tidak layak di miliki orang itu, tetapi disebabkan ada kereta patut la dia dimilik.Biar la pandangannya dengan pandangannya terhadap kita. Tapi kita masih ada Allah, hanya pandangan Allah yang patut kita beratkan dari pandangan orang biasa seperti itu.
luahan AhmadNasrullah
Isu Bai'at
Mutakhir ini, perkembangan dakwah Islam semakin menonjol dengan drastik. Banyak kesan yang boleh diperhatikan termasuk penggunaan pelbagai istilah baru dalam persada dakwah. Yang jelas, telah berlaku banyak kekeliruan dalam penggunaan pelbagai istilah termasuk oleh beberapa gerakan Islam. Kerapkali, sikap terburu-buru dalam menggunakan istilah tertentu menyebabkan banyak kekeliruan yang boleh mengakibatkan dampak yang buruk bukan sahaja ke atas gerakan tersebut malah ke atas Islam itu sendiri.
Sekalipun masih belum jelas kedudukan taklik yang dijadikan syarat “bai’ah” dalam upacara pencalonan calon PAS, hakikatnya, apa yang perlu kita lakukan sebenarnya adalah menyelami dan memahami apakah istilah ini sesuai untuk digunakan dalam konteks ini atau sebaliknya. Dari segi bahasa, bai’ah sering dikaitkan dengan ketaatan dan kesetiaan. Sedangkan dari segi istilah, bai’ah merupakan ketaatan kepada seorang khalifah yang wajib menerapkan Islam secara menyeluruh. Dalam ertikata lain, bai’ah merupakan akad perlantikan (restu) dari umat kepada seorang calon Khalifah melestarikan kehidupan Islam di bawah sistem Khilafah. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW dari Abu Sa’id al-Khudri r.a,
“Jika (terjadi) bai’at kepada dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” [HR Muslim]
Nyata sekali Islam hanya mengiktiraf bai’ah kepada Khalifah, bukan selainnya. Penggunaan istilah bai’ah untuk motif selain dari yang telah ditetapkan oleh syarak adalah merupakan satu kesalahan besar yang boleh mengelirukan umat dari maksud sebenarnya.
Sekalipun masih belum jelas kedudukan taklik yang dijadikan syarat “bai’ah” dalam upacara pencalonan calon PAS, hakikatnya, apa yang perlu kita lakukan sebenarnya adalah menyelami dan memahami apakah istilah ini sesuai untuk digunakan dalam konteks ini atau sebaliknya. Dari segi bahasa, bai’ah sering dikaitkan dengan ketaatan dan kesetiaan. Sedangkan dari segi istilah, bai’ah merupakan ketaatan kepada seorang khalifah yang wajib menerapkan Islam secara menyeluruh. Dalam ertikata lain, bai’ah merupakan akad perlantikan (restu) dari umat kepada seorang calon Khalifah melestarikan kehidupan Islam di bawah sistem Khilafah. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW dari Abu Sa’id al-Khudri r.a,
“Jika (terjadi) bai’at kepada dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” [HR Muslim]
Nyata sekali Islam hanya mengiktiraf bai’ah kepada Khalifah, bukan selainnya. Penggunaan istilah bai’ah untuk motif selain dari yang telah ditetapkan oleh syarak adalah merupakan satu kesalahan besar yang boleh mengelirukan umat dari maksud sebenarnya.
Kaedah Menangani Perbezaan Pendapat
Dalam menangani masalah perbezaan pendapat di kalangan umat Islam, Syeikh Taqiyuddin Al-Nabhani memberikan komentar, “Sedangkan pemahaman terhadap hukum Islam tidak hanya bergantung pada akal semata-mata, semestinya dengan pengetahuan tentang bahasa Arab, kemampuan menggali hukum, dan pengetahuan tentang hadis-hadis yang sahih dan juga yang dha’if (lemah). Berdasarkan hal ini maka para pengembang dakwah hendaknya menganggap bahawa pemahaman mereka terhadap hukum-hakam syarak adalah pemahaman yang benar, meski ada kemungkinan salah. Begitu pula hendaknya para pengembang dakwah menganggap pemahaman orang lain itu salah, meski ada kemungkinan benar. Hal ini akan membuka peluang kepada mereka untuk berdakwah menyampaikan Islam dan hukum-hakamnya sesuai dengan pemahaman dan istinbath mereka terhadap hukum-hukum tersebut. Hendaknya mereka mencuba mengubah pemahaman orang lain yang dinilai salah meski ada kemungkinan benar, supaya mengikuti pemahamannya, iaitu pemahaman yang dianggapnya benar meskipun ada kemungkinan salah. Berdasarkan hal ini, pengembang dakwah tidak boleh mengatakan tentang pendapatnya, ‘bahawa pendapat ini adalah pendapat Islam’ (pendapat lain tidak Islam). Yang seharusnya mereka katakan adalah ‘pendapat ini merupakan pendapat yang (bersifat) Islami’. Para pemuka mazhab dari kalangan mujtahidin menganggap bahawa istinbath mereka terhadap hukum-hakam syara’ adalah benar, namun ada kemungkinan salah. Mereka masing-masing selalu mengatakan: “Apabila hadis tersebut benar (sahih) itulah mazhabku dan buang jauhlah pendapatku”. Pengembang dakwah harus menganggap bahawa pendapat yang ditentukannya atau yang telah mereka usahakan dan sampai pada pendapat yang dipilihnya itu berasal dari Islam dan sesuai dengan apa yang mereka fahami, dan itu adalah pendapat yang benar meski ada kemungkinan salah.” [Mafahim Hizbut Tahrir, hal.70].
Monday, November 9, 2009
Keturunan Syeikh Yusuf Bin Ismail An-Nabhani pengasas Hizbut Tahrir
Pertama sekali mari kita kenali siapa Syeikh Yusuf Bin Ismail An-Nabhani :-
Imam al-Qadhi Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Ismail bin Muhammad Nashiruddin an-Nabhani dilahirkan pada tahun 12g5H / 1849M di Ijzim, Palestine. Beliau dilahirkan dalam keluarga yang amat mementingkan urusan dan ilmu agama. Ayahandanya adalah seorang ulama sholeh yang hafal al-Quran. Di antara wirid ayahandanya tersebut adalah mengkhatamkan al-Quran 3 kali khatam setiap minggu.
Di bawah asuhan ayahandanya, beliau telah menghafal al-Quran dengan baik. Dalam usia 17 tahun, beliau dihantar oleh ayahandanya ke Mesir untuk meneruskan pengajian di Universiti al-Azhar asy-Syarif yang masyhur. Di Mesir beliau belajar dengan ramai ulama terkemuka, antaranya Syaikhul Masyaikh Ustadzul Asaatidzah al-'Allaamah Syaikh Ibrahim as-Saqaa asy-Syafi`i, al-'Allaamah Syaikh Sayyid Muhammad ad-Damanhuri asy-Syafi`i, al-'Allaamah Syaikh Ibrahim az-Zurru al-Khalili asy-Syafi`i, al-'Allaamah Syaikh Ahmad al-Ajhuri adh-Dharir asy-Syafi`i, al-'Allaamah Syaikh Hasan al-'Adawi al-Maliki, al-'Allaamah Syaikh Sayyid 'Abdul Hadi Naja al-Ibyari, Syaikhul Azhar al-'Allaamah Syaikh Syamsuddin Muhammad al-Anbabi asy-Syafi`i, al-'Allaamah Syaikh 'Abdur Rahman asy-Syarbini asy-Syafi`i, al-'Allaamah Syaikh 'Abdul Qadir ar-Raafi`ie al-Hanafi ath-Tharablusi, al-'Allaamah Syaikh Yusuf al-Barqawi al-Hanbali dan ramai lagi untuk disenaraikan. Setelah tamat pengajian di al-Azhar dalam bidang Syariah, beliau kembali ke Ijzim. Di samping berdakwah dan mengajar, beliau tetap belajar kepada para ulama yang ada di merata tempat, antaranya dengan Syaikh Mahmud Effendi Hamzah.
Sepanjang kariernya, Syaikh Yusuf pernah menjawat jawatan-jawatan seperti Qadhi Besar atau Ketua Hakim di Ladhiqiyya, Palestine, Ketua Hakim bagi al-Quds, Palestine dan akhirnya menjadi Ketua Hakim Beirut, Lubnan sehinggalah bersara. Setelah bersara beliau menumpukan sepenuh masanya untuk beribadah dan menetap lama di negeri kekasihnya, Junjungan Nabi SAW, Kota Madinah al-Munawwarah. Dalam kesibukannya, beliau masih sempat untuk menulis dan karya tulisannya yang ilmiah dan berbobot amatlah banyak meliputi berbagai bidang ilmu termasuklah ilmu hadits, sirah Junjungan Nabi SAW, ilmu sanad dan tafsir. Daripada karangannya yang banyak itu, disenaraikan di sini 50 karya beliau seperti berikut:-
1.الفتح الكبير في ضم الزيادة إلى الجامع الصغير
2.منتخب الصحيحين
3.وسائل الأصول إلى شمائل الرسول صلى الله عليه و سلم
4.افضل الصلوات على سيد السادات صلى الله عليه و سلم
5.الأحاديث الأربعين في وجوب طاعة أمير المؤمنين
6.النظم البديع في مولد الشفيع صلى الله عليه و سلم
7.الهمزية الألفية (طيبة الغراء) في مدح سيد الأنبياء
8.الأحاديث الأربعين في فضائل سيد المرسلين
9.الأحاديث الأربعين في أمثال أفصح العالمين
10.قصيدة سعادة المعاد في موازنة بانت سعاد
11.مثال نعله الشريف صلى الله عليه و سلم
12.حجة الله على العالمين
13.سعادة الدارين في الصلاة على سيد الكونين صلى الله عليه و سلم
14.السابقات الجياد في مدح سيد العباد صلى الله عليه و سلم
15.خلاصة الكلام في ترجيح دين الإسلام
16.هادي المريد إلى طرق الأسانيد
17.الفضائل المحمدية
18.الورد الشافي على الأدعية و الأذكار النبوية
19.المزدوجة الغراء في الإستغاثة بأسماء الله الحسنى
20.نجوم المهتدين في معجزاته صلى الله عليه و سلم
21.إرشاد الحيارى
22.جامع الثناء على الله
23.مفرج الكروب
24.حزب الإستغاثات
25.أحسان الوسائل في نظم أسماء النبي الكامل
26.البرهان المسدد في إثبات نبوة سيدنا محمد صلى الله عليه و سلم
27.دليل التجار إلى أخلاق أخيار
28.المجموعة النبهانية في المدائح النبوية
29.سبيل النجاة في حب في الله و البغض في الله
30.القصيدة الرائية الكبرى
31.الرائية الصغرى في ذم البدعة و مدح السنة الغراء
32.جواهر البحار في فضائل النبي المختار صلى الله عليه و سلم
33.تهذيب النفوس
34.إتخاف المسلم
35.جامع كرامات الأولياء
36.العقود اللؤلؤية
37.الدلالات الواضحات
38.رياض الجنة في أذكار الكتاب و السنة
39.الشرف المؤبد لآل محمد صلى الله عليه و سلم
40.الأنوار المحمدية
41.تفسير قرة العين
42.شواهد الحق
43.الأساليب البديعة في فضل الصحابة و إقناع الشيعة
44.حسن الشرعية في مشروعية صلاة الظهر بعد الجمعة
45.تنبيه الأفكار
46.الرحمة المهداة في فضل الصلاة
47.الأربعين من أحاديث سيد المرسلين صلى الله عليه و سلم
48.الصلوات الألفية في الكمالات المحمدية
49.البشائر الإيمانية في المبشرات المنامية
50.الأسماء فيما لسيدنا محمد من الأسماء
Syaikh Yusuf juga terkenal dengan kuat beribadah dan ramai yang menyatakan bahawa beliau termasuk dalam kalangan wali Allah yang diberikan berbagai karamah. Kecintaan beliau kepada Junjungan Nabi SAW tidak boleh disangkal lagi, kerana beliau sungguh-sungguh mengamalkan sunnah-sunnah baginda serta sentiasalah beliau menyebut-nyebut akan Junjungan Nabi SAW pada lisannya dan dalam karangannya baik berupa sholawat maupun berbagai syair-syair pujian kepada Junjungan Nabi SAW. Manusia menyaksikan pada wajah beliau terpancar cahaya kesholehan. Syaikh Yusuf wafat di Beirut pada awal Ramadhan 1350H / 1932M setelah menghabiskan umurnya dalam ketaatan dan kecintaan kepada Allah SWT dan rasulNya SAW. Rahmat Allah ke atas beliau sentiasa dan moga ditempatkan dalam syurga yang penuh kenikmatan di samping kekasihnya Junjungan Nabi SAW. .... al-Fatihah.
Sekarang mari kita kenali pula keturunan Syeikh Yusuf Bin Ismail An-Nabhani yang mendapat didikan terus daripadanya iaitu pengasas Hizbut Tahrir Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani.
Beliau adalah Syeikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An-Nabhani. bahasa Arab: تقي الدين النبهاني; Gelaran “an-nabhani” dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, yang termasuk orang Arab penghuni padang sahara di Palestin. Mereka bermukim di daerah Ijzim yang termasuk dalam wilayah Haifa di Palestin Utara.
Kelahiran dan Pembesaran
Syeikh An-Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909. Beliau mendapat pendidikan awal dari ayahnya sendiri iaitu seorang alim yang faqih fid-din. Ayah beliau seorang pengajar ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestin. Ibunya pula menguasai beberapa cabang ilmu syariah, yang diperoleh dari datuknya, Syeikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani. Beliau adalah seorang qadhi (hakim), penyair, sasterawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.
Syeikh Yusuf an-Nabhani adalah termasuk tokoh sejarah masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Beliau berpendapat bahawa Khalifah Utsmaniyah merupakan penjaga agama dan akidah, simbol kesatuan kaum Muslimin, dan mempertahankan institusi umat. Syeikh Yusuf bertentangan dengan Muhammad Abduh dalam metode tafsir. Muhammad Abduh menyerukan perlunya penakwilan nas agar tafsir merujuk pada tuntutan keadaan dan waktu. Beliau juga bertentangan dengan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya yang sering menyerukan reformasi agama. Menurut beliau, tuntutan reformasi itu meniru Protestan. Dalam Islam tidak ada reformasi agama (seperti dalam pemahaman Protestan). Beliau juga menentang gerakan misionaris dan sekolah-sekolah misionaris yang mulai tersebar pada ketika itu.
Oleh kerana itu, di samping seorang ulama yang faqih, Syeikh Yusuf an-Nabhani juga terkenal sebagai seorang politikus yang selalu memperhatikan dan mengurus urusan umat. Berkenaan Syeikh Yusuf An-Nabhani, beberapa penulis biografi menyebutkan,
“(Dia adalah) Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad an-Nabhani asy Syafi’i. Julukan baginya ialah Abu al-Mahasin. Dia adalah seorang penyair, sufi, dan termasuk salah seorang qadhi yang terkemuka. Dia menangani peradilan (qadha’) di Qushbah Janin, yang termasuk wilayah Nablus. Kemudian beliau berpindah ke Constantinople (Istanbul) dan diangkat sebagai qadhi untuk menangani peradilan di Sinjiq yang termasuk wilayah Moshul. Beliau kemudian menjawat jawatan sebagai ketua Mahkamah Jaza’ di al-Ladziqiyah, sebelum berpindah ke al-Quds. Selanjutnya beliau menjabat sebagai ketua Mahkamah Huquq di Beirut. Beliau mengarang banyak kitab yang jumlahnya mencapai hingga 80 buah.”
Pembesaran Syeikh Taqiyuddin dalam suasana keagamaan seperti itu, ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan keperibadian dan pandangan hidupnya. Syeikh Taqiyuddin telah menghafal Al-Quran dalam usia yang amat muda, iaitu sebelum beliau mencapai umur 13 tahun. Beliau banyak mendapat pengaruh dari datuknya, Syeikh Yusuf an-Nabhani dalam banyak hal. Syeikh Taqiyuddin juga sudah mulai mengerti masalah-masalah politik yang penting, di mana datuk beliau menempuh atau pun mengalami peristiwa-peristiwa tersebut secara langsung kerana hubungannya yang rapat dengan para Khalifah Daulah Utsmaniyah saat itu. Beliau banyak menimba ilmu melalui majlis-majlis dan diskusi-diskusi fiqih yang diselenggarakan oleh datuknya.
Kecerdasan dan kecerdikan Syeikh Taqiyuddin yang menonjol tatkala mengikuti majlis-majlis ilmu tersebut telah menarik perhatian datuknya. Oleh sebab itu, datuk beliau begitu memerhatikan Syeikh Taqiyuddin dan berusaha meyakinkan ayah beliau –Syeikh Ibrahim bin Musthafa– mengenai perlunya menghantar Syeikh Taqiyuddin ke al-Azhar untuk melanjutkan pendidikan beliau dalam ilmu syariah.
Ilmu dan Pendidikan
Syeikh Taqiyuddin menerima pendidikan dasar mengenai ilmu syariah dari ayah dan datuk beliau, yang telah mengajarkan Al-Quran sehingga beliau hafal al-Quran seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga mendapatkan pendidikan awalnya di sekolah tempatan iaitu di sekolah awal daerah Ijzim. Kemudian beliau berpindah ke Akka untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum beliau menamatkan sekolahnya di Akka, beliau telah bertolak ke Kaherah untuk meneruskan pendidikannya di al-Azhar, menyahut saranan dari datuknya, Syeikh Yusuf an-Nabhani.
Syeikh Taqiyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah al-Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan (mumtaz jiddan). Lalu beliau melanjutkan pembelajarannya di Kulliyah Darul Ulum yang waktu itu merupakan cabang al-Azhar dan secara bersamaan beliau juga belajar di Universiti al-Azhar. Beliau banyak menghadiri halqah-halqah ilmiah di al-Azhar yang dianjurkan oleh tokoh-tokoh ulama al-Azhar, seperti Syeikh Muhammad Al-Khidir Husain –rahimahullah– seperti yang pernah disarankan oleh datuk beliau. Menurut sistem lama al-Azhar, para mahasiswanya dapat memilih beberapa orang syeikh al-Azhar dan menghadiri halqah-halqah mereka dalam ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariah lainnya seperti fiqih, usul fiqih, hadis, tafsir, tauhid dan sebagainya.
Walaupun Syeikh Taqiyuddin berada dalam sistem pembelajaran al-Azhar yang lama dengan Darul Ulum, akan tetapi beliau tetap menampakkan keunggulan dan keistimewaan dalam setiap pembelajarannya. Syeikh Taqiyuddin telah menarik perhatian kawan-kawan dan para gurunya kerana kedalamannya dalam berfikir serta kuatnya pendapat serta hujah yang beliau lontarkan dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi ilmiah yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmu yang ada pada waktu itu, baik di Kaherah mahupun di negeri-negeri Islam lainnya. Syeikh Taqiyuddin menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932 dan pada tahun yang sama beliau menamatkan pula kuliahnya di al-Azhar asy-Syarif
Dalam forum-forum halqah ilmiah yang diikuti oleh Syeikh Taqiyuddin, beliau amat dikenali oleh kawan-kawan dan sahabat-sahabat terdekatnya dari kalangan al-Azhar, sebagai seorang yang berfikiran tajam dan genius. Ini kerana, beliau akan memberikan hujah dan pendapat yang begitu kuat dan mendalam yang akan membuatkan orang tertarik dan yakin terhadap pandangannya.
Ijazah Yang Dimiliki
Ijazah yang diraih oleh Syeikh Taqiyuddin antaranya adalah:
1. Ijazah Tsanawiyah al-Azhariyah
2. Ijazah al-Ghuraba’ dari al-Azhar
3. Diploma Bahasa dan Sastera Arab dari Dar al-Ulum;
4. Ijazah dalam Peradilan dari Ma‘had al-Ali li al-Qadha’ (Sekolah Tinggi Peradilan), salah satu cabang al-Azhar.
5. Pada tahun 1932 beliau meraih Syahadah al-‘Alamiyyah (Ijazah Internasional) Syariah dari Universiti al-Azhar asy-Syarif dengan mumtaz jiddan.
Aktiviti Beliau Setelah Tamat Kuliah
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani kembali ke Palestin, dan kemudian bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah tempatan di Haifa di bawah Kementerian Pendidikan Palestin. Di samping itu, beliau juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyyah lain di Haifa.
Beliau sering berpindah-randah lebih dari satu daerah dan sekolah semenjak tahun 1932 sehingga tahun 1938. Beliau kemudiannya mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syariah, kerana beliau melihat pengaruh imperialis Barat (“westernisasi”) dalam bidang pendidikan yang ternyata lebih besar daripada bidang peradilan. Dalam hal ini beliau berkomentar:
“Adapun golongan terpelajar, maka para penjajah di sekolah-sekolah missionaris mereka telah menetapkan sendiri kurikulum-kurikulum pendidikan dan tsaqafah berdasarkan falsafah dan hadharah (peradaban) yang khas dari kehidupan mereka, baik sebelum adanya pendudukan kaum imperialis tersebut mahupun sesudahnya. Lalu, tokoh-tokoh Barat dijadikan sumber tsaqafah (kebudayaan) sebagaimana sejarah dan kebangkitan barat dijadikan sumber asal bagi apa yang merosakkan cara berfikir kita.”
Oleh sebab itu, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani lalu menjauhi bidang pengajaran dalam Kementerian Pendidikan, dan mulai mencari pekerjaan lain dengan pengaruh peradaban Barat yang relatif lebih sedikit. Beliau tidak melihat pekerjaan yang lebih utama selain pekerjaan di Mahkamah Syariah yang dipandangnya merupakan lembaga yang menerapkan hukum-hukum syara’. Dalam hal ini beliau berkata,
“Adapun an-Nizhamul Ijtima’iy, yang mengatur hubungan lelaki dan wanita, dan segala hal yang terbit darinya (yakni al-Ahwalu asy-Syakhshiyyah), tetap menerapkan syari’at Islam sehingga sekarang, meskipun telah berlaku penjajahan dan penerapan hukum-hukum kufur. Tidak diterapkan sama sekali selain syariat Islam dalam bidang itu sehingga saat ini…”
Maka dari itu, Syeikh Taqiyuddin sangat berkeinginan untuk bekerja di Mahkamah Syariah. Dan ternyata banyak kawan beliau (yang pernah sama-sama belajar di al-Azhar) bekerja di sana. Dengan bantuan mereka, Syeikh Taqiyuddin akhirnya diberi jawatan sebagai setiausaha di Mahkamah Syariah Beisan. Beliau kemudian dipindahkan ke Thabriya. Namun demikian, kerana beliau mempunyai cita-cita dan pengetahuan dalam masalah peradilan, maka beliau mengajukan permohonan kepada al-Majlis al-Islami al-A’la, agar menerima permohonannya untuk mendapatkan tanggungjawab menangani peradilan. Dalam hal ini, beliau merasakan dirinya mempunyai kelayakan yang mencukupi untuk menangani masalah peradilan.
Setelah lembaga peradilan menerima permohonannya, lalu beliau ke Haifa sebagai ketua setiausaha (Basy Katib) di Mahkamah Syariah Haifa. Kemudian pada tahun 1940, beliau diangkat sebagai Musyawir (Penolong Qadhi) dan beliau terus memegang kedudukan ini hingga tahun 1945, yakni saat beliau dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadhi di Mahkamah Ramallah sehingga tahun 1948. Setelah itu, beliau keluar dari Ramallah menuju Syam setelah Palestin jatuh ke tangan Yahudi.
Pada tahun 1948 itu pula, sahabatnya al-Ustadz Anwar al-Khatib mengirim surat kepada beliau, yang isinya meminta beliau agar kembali ke Palestin untuk diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syariah al-Quds. Syeikh Taqiyuddin menerima permintaan itu dan kemudian beliau diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syariah al-Quds pada tahun 1948.
Kemudian, Al Ustadz Abdul Hamid As-Sa’ih iaitu Ketua Mahkamah Syariah dan Ketua Mahkamah Isti’naf pada waktu itu, telah mengangkat Syeikh Taqiyuddin sebagai anggota Mahkamah Isti’naf, dan beliau tetap memegang kedudukan itu sehingga tahun 1950. Pada tahun 1950 inilah, beliau lalu mengajukan permohonan mengundurkan diri, kerana beliau mencalonkan diri untuk menjadi anggota Majlis Niyabi (Majlis Perwakilan).
Pada tahun 1951, Syeikh an-Nabhani berkunjung ke kota Amman untuk menyampaikan ceramah-ceramahnya kepada para pelajar Madrasah Tsanawiyah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Usaha beliau ini berterusan sehingga awal tahun 1953, ketika beliau mulai sibuk dengan penubuhan Hizbut Tahrir, yang telah beliau rintis antara tahun 1949 hingga 1953
Aktiviti Politik
Sejak remaja Syeikh an-Nabhani sudah memulai aktiviti politiknya kerana pengaruh datuknya, Syeikh Yusuf an-Nabhani, yang pernah terlibat dengan diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh dengan peradaban Barat, seperti Muhammad Abduh, para pengikut idea pembaharuan, tokoh-tokoh Freemason, dan pihak-pihak lain yang tidak puas hati dan membangkang terhadap Daulah Utsmaniyah. Sejak usia muda, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani telah bergelut dengan masalah-masalah politik ketika dibimbing oleh datuknya. Begitu pula ketika beliau mengikuti kuliah di Dar al-Ulum dan al-Azhar, Teman-teman beliau semasa kuliah menceritakan aktiviti beliau yang tidak pernah lelah dalam diskusi politik dan keilmuan. Mereka juga sangat menghargai sumbangan beliau dalam sejumlah diskusi politik. Di dalamnya beliau senantiasa mengkritik kemunduran umat serta mendorong aktiviti politik dan intelektual untuk membangkitkan umat dan mewujudkan kembali Daulah Islam. Beliau juga menggunakan kesempatan itu untuk mendorong dan mendesak para ulama al-Azhar dan lembaganya memainkan peranan aktif dalam membangkitkan umat.
Perdebatan-perdebatan politik dan aktiviti dakwah di antara para mahasiswa di al-Azhar dan di Kulliyah Darul Ulum, telah menyingkapkan pula keprihatinan Syeikh Taqiyuddin akan masalah-masalah politik. Beberapa orang sahabatnya telah menceritakan sikap-sikapnya yang melaungkan seruan-seruan yang bersifat menentang, yang mampu memimpin situasi al-Azhar saat itu. Di samping itu, beliau juga melakukan berbagai perdebatan dengan para ulama al-Azhar mengenai apa yang harus dilakukan dengan serius untuk membangkitkan umat Islam. Setelah kembali dari pembelajarannya di al-Azhar, beliau tetap memerhatikan usaha-usaha “westernisasi” umat Islam yang dilakukan oleh para penjajah seperti Inggeris dan Perancis. Beliau juga banyak menjalin hubungan dan berdialog dengan para ulama, tokoh pergerakan dan tokoh masyarakat setempat dalam usaha beliau membangkitkan kembali umat Islam.
Sebenarnya ketika Syeikh An-Nabhani kembali dari Kaherah ke Palestin, iaitu ketika beliau menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestin, beliau sudah melakukan kegiatan yang cukup menarik perhatian, yakni memberikan kesedaran kepada para murid yang diajarnya dan orang-orang yang ditemuinya mengenai situasi yang ada pada saat itu. Beliau juga membangkitkan perasaan marah dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa muridnya, di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam. Beliau menyampaikan semua ini melalui khutbah-khutbah, dialog-dialog, dan perdebatan-perdebatan yang beliau lakukan. Pada setiap topik yang beliau sajikan. Hujah beliau senantiasa kuat. Beliau memang dikenal mempunyai kemampuan yang tinggi untuk meyakinkan orang lain.
Ketika beliau berpindah pekerjaan ke bidang peradilan, lalu beliau berusaha menjalin hubungan dengan para ulama yang beliau kenal dan beliau temui di Mesir. Kepada mereka beliau mengajukan idea untuk membentuk sebuah parti politik yang berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum Muslimin dan mengembalikan kemuliaan dan kejayaan mereka.
Untuk tujuan ini pula, beliau berpindah-randah dari satu kota ke kota lain di Palestin dan mengajukan idea yang sudah mendarah daging dalam jiwa beliau itu kepada tokoh-tokoh terkemuka, baik dari kalangan ulama’ mahupun para pemikir. Kedudukan beliau di Mahkamah Isti’naf di al-Quds sangat membantu aktiviti beliau ini.
Dengan kelebihannya, beliau dapat menyelenggarakan berbagai seminar dan mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di Palestin. Dalam kesempatan itu, beliau mengadakan dialog dengan mereka mengenai metode kebangkitan yang benar. Beliau banyak berdebat dengan para pendiri organisasi-organisasi sosial Islam (Jam’iyat Islamiyah) dan parti-parti politik yang bercorak nasionalis dan patriotik. Beliau menjelaskan kekeliruan langkah mereka, kesalahan pemikiran mereka, dan rosaknya kegiatan mereka. Selain itu, beliau juga sering melontarkan pelbagai masalah politik dalam khutbah-khutbah beliau dan pada majlis-majlis keagamaan di masjid-masjid, termasuklah di Masjidil Aqsa, masjid al-Ibrahim al-Khalil (Hebron) dan lain-lain.
Dalam kesempatan seperti itu, beliau selalu menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, dengan menyatakan bahawa semua itu merupakan rekayasa penjajah Barat, dan merupakan salah satu sarana penjajah Barat agar dapat terus mencengkam negeri-negeri umat Islam. Beliau juga sering membongkar strategi-strategi politik negara-negara Barat dan mengungkap niat-niat jahat mereka untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Selain itu, beliau berpandangan bahawa kaum Muslimin berkewajiban untuk mendirikan parti politik yang berasaskan Islam.
Semua ini ternyata membuat Raja Abdullah bin al-Hussain marah, lalu dipanggillah Syeikh an-Nabhani untuk menghadap kepadanya, terutama kerana khutbah yang pernah beliau sampaikan di Masjid Raya Nablus. Beliau diminta hadir di suatu majlis lalu ditanya oleh Raja Abdullah mengenai apa yang menyebabkan beliau menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, termasuk juga negeri Jordan. Namun Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani tidak menjawab pertanyaan itu, malah berpura-pura tidak mendengar. Ini menyebabkan Raja Abdullah mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Akan tetapi Syeikh Taqiyuddin tetap tidak menjawabnya.
Maka Raja Abdullah pun naik marah dan berkata kepada beliau, “Apakah kamu akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi, dan apakah kamu juga akan memusuhi orang yang kami musuhi?”
Lalu, Syeikh Taqiyuddin berkata kepada dirinya sendiri, “Kalau aku lemah untuk mengucapkan kebenaran hari ini, lalu apa yang harus aku ucapkan kepada orang-orang sesudahku nanti?”
Kemudian Syeikh Taqiyuddin bangkit dari tempat duduknya seraya berkata, “Aku berjanji kepada Allah, bahawa aku akan menolong dan melindungi agamaNya dan akan memusuhi orang yang memusuhi (agama)Nya. Dan aku amat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik!”
Maka merah padamlah muka Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, sehingga dia lalu mengeluarkan perintah untuk menangkap Syeikh Taqiyuddin dan mengusirnya keluar dari majlis tersebut. Dan kemudian Syeikh Taqiyuddin benar-benar ditangkap. Namun, Raja Abdullah kemudiannya menerima permohonan maaf dari beberapa ulama atas sikap Syeikh Taqiyuddin tersebut lalu memerintahkan pembebasannya, sehingga Syeikh Taqiyuddin tidak sempat bermalam di tahanan.
[sunting] Pembentukan Parti Politik
Syeikh Taqiyuddin lalu kembali ke Al-Quds dan sebagai kesan dari kejadian tadi, beliau mengajukan pengunduran diri dan menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja melaksanakan tugas pemerintahan apa pun.”
Syeikh Taqiyuddin kemudian mengajukan pencalonan dirinya untuk menduduki Majlis Perwakilan. Namun, oleh kerana sikapnya yang tegas, aktiviti politik serta usahanya yang bersungguh-sungguh untuk membentuk sebuah parti politik, dan keteguhannya berpegang kepada agama, maka akhirnya hasil undian menunjukkan bahawa Syeikh Taqiyuddin dianggap tidak layak untuk duduk dalam Majlis Perwakilan.
Namun demikian, aktiviti politik Syeikh Taqiyuddin tidak pernah terkandas dan tekadnya pun tidak pernah luntur. Beliau terus mengadakan pertemuan dan diskusi-diskusi, sehingga akhirnya beliau berhasil meyakinkan sejumlah ulama dan qadhi terkemuka serta para tokoh politik dan pemikir untuk membentuk sebuah parti politik yang berasaskan Islam. Setelah itu, beliau memberikan kepada mereka kerangka organisasi bagi penubuhan suatu parti dan konsep-konsep pemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsaqafah bagi parti tersebut. Ternyata, pemikiran-pemikiran beliau ini dapat diterima dan dipersetujui oleh para ulama tersebut. Bermula dari sini, maka aktiviti beliau mula difokuskan kepada usaha pembentukan dan penubuhan Hizbut Tahrir.
Syeikh Taqiyuddin mula melakukan persiapan yang sesuai untuk struktur parti, pemikiran parti dan sebagainya. Persiapan awal ini sebenarnya bermula sejak 1949 lagi ketika beliau masih menjawat jawatan Qadhi di al-Quds. Pada tahun 1950 beliau menulis buku beliau yang pertama, iaitu Inqadz Filisthin (Membebaskan Palestin) di mana beliau merungkai akar yang sangat dalam, bahawa Islam telah hadir di Palestin sejak abad VII lagi, dan sebab utama kemunduran yang menerkam masyarakat Arab adalah kerana mereka telah menarik diri (dari Islam) dan menyerahkan diri pada kekuasaan penjajah. Jatuhnya Palestin ke tangan Yahudi tahun 1948 memberikan keyakinan kepada beliau, bahawa hanya aktiviti yang terorganisasi dan memiliki akar pemikiran Islam yang kuat sahajalah yang akan dapat mengembalikan kekuatan dan keagungan umat Islam.
Pada tahun 1950, An-Nabhani bercadang menghadiri satu Persidangan Kebudayaan Liga Arab di Alexandria, Mesir, namun beliau telah dihalang. Padahal, Menteri Pendidikan dan Qadhi Qudhat (Hakim Agung) waktu itu, iaitu Syeikh Muhammad al-Amin as-Sanqaythi, telah pun mengizinkannya untuk hadiri. Akhirnya, beliau mengirimkan surat yang sangat panjang kepada para peserta persidangan yang kemudian dikenali sebagai Risalah al-Arab. Beliau menekankan bahawa misi yang benar dan hakiki untuk Arab adalah Islam. Hanya dengan Islam sahajalah pemikiran dan kebangkitan kembali politik umat akan boleh dicapai. Malangnya tidak ada respons sama sekali dari para anggota persidangan terhadap surat ini. Hal ini lebih menguatkan keyakinan Syeikh Taqiyuddin sebelumnya, bahawa pendirian parti politik menjadi perkara yang sangat penting dan mendasar.
[sunting] Hizbut Tahrir Di dirikan
Oleh kerana itu, pada akhir 1952 dan awal 1953, seluruh persiapan diwujudkan dalam langkah yang praktis untuk mengumumkan kewujudan dan penubuhan Hizbut Tahrir. Lalu pada tahun 1953, Hizbut Tahrir telah didirikan dengan rasminya oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani di al-Quds.
Undang-undang kepartian Utsmani waktu itu masih diterapkan di Palestin. Ia memperuntukkan bahawa, cukup dengan telah disampaikannya permintaan penubuhan parti ke lembaga tertentu, dan cukup dengan publikasi bahawa permintaan itu telah diterima dan publikasi pendirian parti dilakukan, maka itu sudah dinilai sebagai izin rasmi bagi penubuhan parti dan izin bagi parti untuk melaksanakan aktivitinya. Saat itu belum ditetapkan aturan kepartian yang baru. Justeru, pengumuman mengenai pembentukan Hizbut Tahrir telah tersiar di Harian ash-Sharih edisi 14 Mac 1953, pada saat Syeikh Taqiyuddin mengajukan permohonan rasmi kepada Departemen Dalam Negeri Jordan. Di dalam surat itu, terdapat permohonan agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktiviti politiknya. Di dalam surat tersebut juga, terdapat pula struktur organisasi Hizbut Tahrir dengan susunan sebagai berikut:
1. Taqiyuddin An-Nabhani, sebagai pemimpin/ketua Hizbut Tahrir.
2. Dawud Hamdan, sebagai wakil pemimpin merangkap Setiausaha.
3. Ghanim Abduh, sebagai Bendahara.
4. Dr. Adil An-Nablusi, sebagai anggota.
5. Munir Syaqir, sebagai anggota.
[sunting] Parti Politik Hizbut Tahrir
Dengan permohonan yang diajukan tersebut, diharapkan agar pihak berkuasa dapat memaklumi penubuhan sebuah parti politik iaitu Hizbut Tahrir. Lalu, Hizbut Tahrir telah menyewa sebuah rumah di kota al-Quds dan memasang papan tanda yang memaparkan nama “Hizbut Tahrir”. Akan tetapi Departemen Dalam Negeri Jordan terus mengirimkan sepucuk surat kepada Hizbut Tahrir yang melarangnya untuk melakukan aktivitinya. Di bawah ini adalah teks suratnya :
--------------------------------------------------------------------------------
No: ND/70/52/916 Tarikh: 14 Mac 1953
Kepada Yang Terhormat,
Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani
dan seluruh pendiri Hizbut Tahrir
Saya telah meneliti berita yang disiarkan oleh surat khabar as-Sharih edisi hari ini yang berjudul, “Organisasi Pembebasan (Hai’atut Tahrir) : Pembentukan Parti Politik Secara Rasmi di Al Quds.”
Saya berharap dapat memberi pengertian kepada anda sekalian, bahawa apa yang disiar mengenai pembentukan parti secara rasmi di al-Quds itu, ternyata tidak dapat dibenarkan. Selain itu, kami ingin maklumkan bahawa surat balasan yang anda terima dari ketua pejabat saya, menunjukkan bahawa permohonan anda telah sampai kepada saya. Bahawasanya, Undang-Undang Dasar (Perlembagaan) yang ada tidak mengizinkan aktiviti anda sekalian. Hal itu kerana permohonan pembentukan parti, tergantung kepada kepentingan negara – seperti yang saya lampirkan melalui beberapa catatan yang dikirimkan kepada anda sekalian, yang ternyata tidak mengizinkan adanya pendirian parti.
Atas Nama Departemen Dalam Negeri,
Ali Hasanah
--------------------------------------------------------------------------------
Atas perintah pihak penguasa setelah datangnya surat tersebut, pihak polis segera menyerbu rumah yang disewa oleh Hizbut Tahrir tadi dan terus mencabut papan tanda (nama) yang ada di sana. Hizbut Tahrir lalu dilarang untuk melakukan sebarang kegiatan. Sejak saat itu, dan bahkan sehingga saat ini, Hizbut Tahrir tidak dibenarkan melakukan aktiviti politiknya secara bebas.
Namun demikian, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani sama sekali tidak peduli dan tidak memperhitungkan semua itu. Bahkan, beliau tetap teguh dengan pendiriannya untuk melanjutkan misinya menyebarkan risalah yang telah beliau yakini sebagai asas-asas bagi Hizb. Beliau memang sangat menaruh harapan untuk membangkitkan umat Islam melalui Hizbut Tahrir, iaitu gerakan yang telah beliau dirikan dan yang beliau telah tetapkan falsafahnya dengan karakter-karakter tertentu yang beliau gali dari nas-nas syara’ dan sirah Rasulullah SAW.
Oleh kerana itu, Syeikh Taqiyuddin kemudian menjalankan aktivitinya secara rahsia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (qiyadah) yang baru bagi Hizb, di mana beliau sendiri yang menjadi pucuk pimpinannya. Dewan Pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah. Beliau terus memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizbut Tahrir ini sehingga wafatnya pada tanggal 25 Rejab 1398H, bertepatan dengan 20 Jun 1977M.
Pada tahun yang sama (1953), pada masa kabinet Tawfiq Abdul Hadi, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani bersama Ustadz Dawud Hamdan ditangkap di Al-Quds, sementara Munir Syaqir dan Ghanim Abduh ditangkap di Amman. Beberapa hari berikutnya, Dr. Abdul Aziz al-Khiyath turut ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.
Pada waktu itu Hizbut Tahrir berhasil meyakinkan sejumlah wakil rakyat dan orang-orang kabinet di Amman. Akhirnya, sekelompok wakil rakyat, peguam, peniaga dan sejumlah orang yang memiliki kedudukan mengirimkan petisyen yang menuntut pihak berkuasa yang berkenaan agar membebaskan Syeikh Taqiyuddin dan teman-temannya. Petisyen itu ditandatangani oleh seramai 37 orang.
Dr. Abdul Aziz Al-Khiyath menceritakan,
“Tiga hari setelah saya masuk penjara, di pejabat ketua penjara, seorang yang sangat baik, H. Salim, terjadi diskusi antara kami dan utusan ketua Kabinet, Muhammad Ali Badir, Rasyid al-Khiyath, dan seorang wakil rakyat, Rasyad Thawqan. Diskusi membahas dakwah Islamiyah dan aktiviti Hizbut Tahrir. Kami menyatakan bahawa dalam aktiviti kami tidak ada yang menyalahi undang-undang, tidak ada seruan revolusi ataupun huru-hara, bahkan tidak ada seruan kepada kekerasan. Kami tidak lain kecuali menyerukan pemikiran kami dengan metode yang damai dan hal itu dijamin oleh Perlembagaan. Mereka sefahaman dengan kami. Hari berikutnya, kami dibebaskan.”
Glubb Pasya, seorang Inggeris yang kala itu menjadi Ketua Staf Angkatan Bersenjata Jordan, yang disebut Arab Legion of Inggeris Army -dialah yang sebenar-benarnya berkuasa di Jordan- mendesak pemerintahan boneka di Jordan untuk menggunakan semua sarana yang diperlukan untuk 'mencekup' Hizbut Tahrir dan aktivitinya. Pada tahun 1954 dikeluarkan Qanun al-Wa’zhu wa al-Irsyad yang menghalang seseorang dari menyampaikan ceramah, khutbah, atau pengajaran di masjid kecuali mendapat izin rasmi dari Qadhi Qudhat. Atas dasar UU ini, sejumlah tokoh Hizbut Tahrir ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.
Pada November 1953, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani berpindah ke Damaskus dan menyebarkan dakwah di sana, tetapi telah diheret oleh perisik Syiria ke perbatasan Syria-Lebanon. Namun, atas bantuan Mufti Lebanon, Syeikh Hasan al-‘Alaya, akhirnya beliau diizinkan masuk ke Lebanon yang mana sebelumnya dihalang begitu rupa.
Beliau lalu menyebarkan pemikiran Islam di Lebanon dengan leluasa sehingga tahun 1958, iaitu ketika pemerintah Lebanon mulai mempersempit kehidupan beliau kerana merasakan bahaya dari pemikiran yang beliau bawa. Akhirnya, beliau berpindah dari Beirut ke Tharablus dan terpaksa mengubah penampilan bagi membolehkan beliau menjalankan kepemimpinan Hizbut Tahrir.
Selama itu, beliau terus memegang Qiyadah (Kepemimpinan) HT. Beliau juga terus memantau berita baik dari surat khabar, berbagai media, radio, dan sebagainya, yang kemudiannya menulis analisis politik dan disebarkan atas nama HT.
Sepanjang masa kepemimpinannya, beliau telah melakukan berbagai kegiatan politik yang meluas di pelbagai tempat dan negara. Penyudah yang paling gemilang dari peninggalan beliau ialah beliau telah berjaya mewariskan kepada umat Islam di seluruh dunia, sebuah parti politik yang berasaskan Islam, yang teguh, mempunyai fikrah yang jernih dan kuat, dan kini tersebar luas di merata penjuru dunia .
Semua usaha beliau ini telah menjadikan Hizbut Tahrir sebagai sebuah parti politik internasional, dengan kekuatan Islam yang luar biasa, sehingga Hizbut Tahrir sangatlah diperhitungkan dan disegani oleh seluruh pemikir dan politikus, baik dari kaum Muslimin mahupun kuffar, baik yang bertaraf nasional mahupun internasional, walaupun dalam keadaan Hizbut Tahrir yang tetap dihalang dari beraktiviti di banyak negara di dunia.
Di bawah kepemimpinan beliau, Hizbut Tahrir telah berusaha mengambil alih kekuasaan di beberapa negara Arab, seperti di Jordan pada tahun 1969, di Mesir pada tahun 1973, dan di Iraq pada tahun 1972. Negara lain adalah seperti di Tunisia, Aljazair, dan Sudan. Sebahagian usaha ini disiarkan oleh media massa, sedang sebahagian lainnya memang sengaja tidak diumumkan oleh media.
Selain itu, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan banyak selebaran (nasyrah) politik yang penting, yang mengungkapkan berbagai konspirasi jahat, baik dari pihak Barat mahupun agen-agen mereka dari kalangan penguasa kaum Muslimin, untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Hizbut Tahrir juga banyak mengirimkan memorandum politik penting kepada para politikus dan penguasa di pelbagai negeri-negeri umat Islam, dengan maksud agar mereka menukar sistem sekular yang sedia ada dengan sistem Khilafah, atau dengan maksud memberi nasihat dan peringatan atas tindakan-tindakan mereka yang dianggap sebagai pengkhianatan kepada umat Islam.
Hakikatnya, aktiviti politik merupakan aspek yang paling menonjol dalam kehidupan Syeikh Taqiyuddin. Bahkan, sehingga ada yang berpendapat bahawa beliau adalah Hizbut Tahrir itu sendiri, kerana kemampuan beliau yang tinggi untuk melakukan analisis politik, sebagaimana yang nampak dalam penulisan selebaran politik yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir. Beliau juga banyak menelaah peristiwa-peristiwa politik, lalu mendalaminya dengan amat cermat dan mendalam, disertai pemahaman sempurna terhadap situasi-situasi politik dan idea-idea politik yang ada.
Maka, mereka yang mencermati selebaran-selebaran politik yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, juga kitab-kitab mengenai politik yang ditulis oleh Syeikh Taqiyuddin, serta garis-garis besar langkah politik yang beliau susun untuk membina pemikiran politik syabab Hizbut Tahrir, akan dapat menyimpulkan bahawa Syeikh Taqiyuddin memang benar-benar mempunyai kemampuan yang hebat dalam masalah politik. Sungguh, beliau termasuk salah seorang pemikir dan politikus terulung pada abad ke-20.
[sunting] Meninggal Dunia
Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani meninggal pada tahun 1398H / 1977M dan dikuburkan di Perkuburan Al-Auza’i, Beirut. Beliau telah meninggalkan karya-karya agung yang dapat dianggap sebagai kekayaan pemikiran yang tak ternilai harganya. Karya-karya ini menunjukkan bahawa Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani merupakan seorang yang mempunyai pemikiran yang genius dan seorang penganalisis yang unggul. Beliaulah yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizbut Tahrir, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara’, mahupun yang lainnya seperti masalah ideologi, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, uqubat dan sebagainya. Inilah yang mendorong sebahagian peneliti untuk mengatakan bahawa Hizbut Tahrir adalah Taqiyuddin An Nabhani, dan sehingga ada yang menyatakan bahawa Hizbut Tahrir adalah satu mazhab.
[sunting] Karya-karya Beliau
Kebanyakan karya Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani berupa kitab-kitab tanzhiriyah (penetapan pemahaman/pandangan) dan tanzhimiyah (penetapan peraturan), atau kitab-kitab untuk mengajak kaum Muslimin untuk mengembalikan semula kehidupan Islam dengan jalan mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah. Al-Ustadz Dawud Hamdan telah menjelaskan karakter kitab-kitab Syeikh Taqiyuddin – yang termasuk kitab-kitab yang disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir– secara mendalam dan tepat dengan pernyataannya,
“Sesungguhnya kitab ini –yakni kitab Ad Daulah Al-Islamiyyah– bukanlah sebuah kitab untuk sekadar dipelajari, akan tetapi kitab ini dan kitab lainnya yang telah disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir –seperti kitab Usus An-Nahdhah, Nizhamul Islam, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, An-Nizham Al-Iqthishady fi Al-Islam, Nizham Al-Hukm, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, At-Takatul Al-Hizbi, Mafahim Hizhut Tahrir, Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir– menurut saya adalah kitab yang benar-benar membangkitkan kaum Muslimin dengan jalan mengembalikan kehidupan Islam dan mengembang dakwah Islamiyah.”
Oleh kerana itu, kitab-kitab Syeikh Taqiyuddin terlihat istimewa kerana mencakup dan meliputi berbagai aspek kehidupan dan permasalahan manusia. Kitab-kitab yang mengupas aspek-aspek kehidupan individu, politik, kenegaraan, sosial dan ekonomi tersebut, merupakan landasan ideologi dan politik bagi Hizbut Tahrir, di mana Syeikh Taqiyuddin menjadi motornya (penggeraknya).
Oleh sebab karya-karya Syeikh Taqiyuddin mencakup pelbagai bidang, maka tak hairanlah jika karya-karya beliau mencapai lebih dari 30 kitab. Ini belum termasuk memorandum-memorandum politik yang beliau tulis untuk memecahkan permasalahan politik, serta nasyrah-nasyrah dan penjelasan-penjelasan mengenai masalah-masalah pemikiran dan masalah-masalah politik yang penting.
Karya-karya Syeikh Taqiyuddin, baik yang berkenaan dengan politik mahupun pemikiran, mempunyai satu identiti yang sama iaitu dengan adanya kesedaran, kecermatan dan kejelasan, serta sangat sistematik, sehingga beliau dapat menampilkan Islam sebagai ideologi yang sempurna dan komprehensif yang diistinbath dari dalil-dalil syar’i yang terkandung dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Karya-karya beliau dapat dikategorikan sebagai “buah pemikiran” pertama yang disajikan oleh seorang pemikir Muslim pada era moden ketika itu dan hingga kini.
Karya-karya Syeikh Taqiyuddin An Nabhani yang paling terkenal, yang memuat pemikiran dan ijtihad beliau antara lain :
1. Nizhamul Islam.
2. At Takattul Al Hizbi.
3. Mahafim Hizbut Tahrir.
4. An Nizhamul Iqthishadi fil Islam.
5. An Nizhamul Ijtima’i fil Islam.
6. Nizhamul Hukm fil Islam.
7. Ad Dustur.
8. Muqaddimah Dustur.
9. Ad Daulatul Islamiyah.
10. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah (3 jilid).
11. Mafahim Siyasiyah li Hizbut Tahrir.
12. Nazharat Siyasiyah li Hizbut Tahrir.
13. Nida’ Haar.
14. Al-Khilafah.
15. At-Tafkir.
16. Ad-Dusiyah.
17. Sur’atul Badihah.
18. Nuqthatul Inthilaq.
19. Dukhu Al-Mujtama’.
20. Inqadzu Filisthin.
21. Risalatul Arab.
22. Tasalluh Mishr.
23. Al-Ittifaqiyyah Ats-Tsana’iyyah Al-Mishriyyah As-Suriyyah wal Yamaniyyah.
24. Hallu Qadhiyah Filisthin ala Ath-Thariqah Al-Amrikiyyah wal Inkiliziyyah.
25. Nazhariyatul Firagh As-Siyasi Haula Masyru’ Aizanhawar.
Semua ini tidak termasuk ribuan selebaran-selebaran (nasyrah) mengenai pemikiran, politik, dan ekonomi serta beberapa kitab yang dikeluarkan oleh Syeikh Taqiyuddin atas nama anggota Hizbut Tahrir –dengan maksud agar kitab-kitab itu mudah beliau sebarluaskan– setelah adanya undang-undang yang melarang peredaran kitab-kitab karya beliau. Di antara kitab itu adalah :
1. As-Siyasah Al-Iqthishadiyah Al-Mutsla.
2. Naqdlul Isytirakiyah Al-Marksiyah.
3. Kaifa Hudimat Al-Khilafah.
4. Ahkamul Bayyinat.
5. Nizhamul Uqubat.
6. Ahkamush Shalat.
7. Al-Fikru Al-Islami.
Dan apabila karya-karya Syeikh Taqiyuddin tersebut ditelaah dengan ikhlas, adil dan saksama, terutama yang berkenaan dengan aspek hukum dan ilmu usul, akan nampak bahawa beliau sesungguhnya adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fuqaha dan mujtahidin yang terdahulu. Hanya saja, beliau tidak pernah mengikuti salah satu mazhab/aliran dalam berijtihad, baik mazhab akidah seperti Ahlus Sunah atau Syiah, mahupun mazhab fiqh seperti Syafie, Maliki, Hanafi, Hambali dan sebaginya. Dengan kata lain, beliau tidak pernah mengikuti dan tidak pernah mengisytiharkan bahawa beliau mengikuti suatu madzhab tertentu di antara madzhab-madzhab yang telah dikenal, akan tetapi beliau memilih dan menetapkan (mentabanni) usul fiqih beliau sendiri yang khusus baginya, dan dari situ beliau mengistinbat hukum-hukum syara’. Dan usul fiqh serta ijtihad beliau ini, sebahagian besarnya dijadikan pegangan oleh seluruh umat Islam yang bergabung di dalam Hizbut Tahrir.
Namun perlu diingat dan ditegaskan di sini, bahawasanya usul fiqih yang dibawa oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani tidaklah keluar dari metode fiqih yang benar sebagaimana salafu soleh, yang membatasi dalil-dalil syar’i pada Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas syar’ie, semata-mata.
[sunting] Rujukan
1.Laman web Hizbut Tahrir Malaysia - Amir Hizbut Tahrir. [2]
2.Laman web Hizbut Tahrir Britain - Sheikh Muhammad Taqiuddin al-Nabhani. [3]
3.Utusan Malaysia. ARKIB : 17/11/2008. "Tokoh perjuangan dari Al-Azhar". Oleh MOHAMAD FIKRI ROSLY[4]
4.Blog syiardandakwahislam - Pendiri dan Amir Pertama Hizbut Tahrir. [5]
Diambil dari http://ms.wikipedia.org/wiki/Syekh_Taqiyuddin_An_Nabhani
Imam al-Qadhi Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Ismail bin Muhammad Nashiruddin an-Nabhani dilahirkan pada tahun 12g5H / 1849M di Ijzim, Palestine. Beliau dilahirkan dalam keluarga yang amat mementingkan urusan dan ilmu agama. Ayahandanya adalah seorang ulama sholeh yang hafal al-Quran. Di antara wirid ayahandanya tersebut adalah mengkhatamkan al-Quran 3 kali khatam setiap minggu.
Di bawah asuhan ayahandanya, beliau telah menghafal al-Quran dengan baik. Dalam usia 17 tahun, beliau dihantar oleh ayahandanya ke Mesir untuk meneruskan pengajian di Universiti al-Azhar asy-Syarif yang masyhur. Di Mesir beliau belajar dengan ramai ulama terkemuka, antaranya Syaikhul Masyaikh Ustadzul Asaatidzah al-'Allaamah Syaikh Ibrahim as-Saqaa asy-Syafi`i, al-'Allaamah Syaikh Sayyid Muhammad ad-Damanhuri asy-Syafi`i, al-'Allaamah Syaikh Ibrahim az-Zurru al-Khalili asy-Syafi`i, al-'Allaamah Syaikh Ahmad al-Ajhuri adh-Dharir asy-Syafi`i, al-'Allaamah Syaikh Hasan al-'Adawi al-Maliki, al-'Allaamah Syaikh Sayyid 'Abdul Hadi Naja al-Ibyari, Syaikhul Azhar al-'Allaamah Syaikh Syamsuddin Muhammad al-Anbabi asy-Syafi`i, al-'Allaamah Syaikh 'Abdur Rahman asy-Syarbini asy-Syafi`i, al-'Allaamah Syaikh 'Abdul Qadir ar-Raafi`ie al-Hanafi ath-Tharablusi, al-'Allaamah Syaikh Yusuf al-Barqawi al-Hanbali dan ramai lagi untuk disenaraikan. Setelah tamat pengajian di al-Azhar dalam bidang Syariah, beliau kembali ke Ijzim. Di samping berdakwah dan mengajar, beliau tetap belajar kepada para ulama yang ada di merata tempat, antaranya dengan Syaikh Mahmud Effendi Hamzah.
Sepanjang kariernya, Syaikh Yusuf pernah menjawat jawatan-jawatan seperti Qadhi Besar atau Ketua Hakim di Ladhiqiyya, Palestine, Ketua Hakim bagi al-Quds, Palestine dan akhirnya menjadi Ketua Hakim Beirut, Lubnan sehinggalah bersara. Setelah bersara beliau menumpukan sepenuh masanya untuk beribadah dan menetap lama di negeri kekasihnya, Junjungan Nabi SAW, Kota Madinah al-Munawwarah. Dalam kesibukannya, beliau masih sempat untuk menulis dan karya tulisannya yang ilmiah dan berbobot amatlah banyak meliputi berbagai bidang ilmu termasuklah ilmu hadits, sirah Junjungan Nabi SAW, ilmu sanad dan tafsir. Daripada karangannya yang banyak itu, disenaraikan di sini 50 karya beliau seperti berikut:-
1.الفتح الكبير في ضم الزيادة إلى الجامع الصغير
2.منتخب الصحيحين
3.وسائل الأصول إلى شمائل الرسول صلى الله عليه و سلم
4.افضل الصلوات على سيد السادات صلى الله عليه و سلم
5.الأحاديث الأربعين في وجوب طاعة أمير المؤمنين
6.النظم البديع في مولد الشفيع صلى الله عليه و سلم
7.الهمزية الألفية (طيبة الغراء) في مدح سيد الأنبياء
8.الأحاديث الأربعين في فضائل سيد المرسلين
9.الأحاديث الأربعين في أمثال أفصح العالمين
10.قصيدة سعادة المعاد في موازنة بانت سعاد
11.مثال نعله الشريف صلى الله عليه و سلم
12.حجة الله على العالمين
13.سعادة الدارين في الصلاة على سيد الكونين صلى الله عليه و سلم
14.السابقات الجياد في مدح سيد العباد صلى الله عليه و سلم
15.خلاصة الكلام في ترجيح دين الإسلام
16.هادي المريد إلى طرق الأسانيد
17.الفضائل المحمدية
18.الورد الشافي على الأدعية و الأذكار النبوية
19.المزدوجة الغراء في الإستغاثة بأسماء الله الحسنى
20.نجوم المهتدين في معجزاته صلى الله عليه و سلم
21.إرشاد الحيارى
22.جامع الثناء على الله
23.مفرج الكروب
24.حزب الإستغاثات
25.أحسان الوسائل في نظم أسماء النبي الكامل
26.البرهان المسدد في إثبات نبوة سيدنا محمد صلى الله عليه و سلم
27.دليل التجار إلى أخلاق أخيار
28.المجموعة النبهانية في المدائح النبوية
29.سبيل النجاة في حب في الله و البغض في الله
30.القصيدة الرائية الكبرى
31.الرائية الصغرى في ذم البدعة و مدح السنة الغراء
32.جواهر البحار في فضائل النبي المختار صلى الله عليه و سلم
33.تهذيب النفوس
34.إتخاف المسلم
35.جامع كرامات الأولياء
36.العقود اللؤلؤية
37.الدلالات الواضحات
38.رياض الجنة في أذكار الكتاب و السنة
39.الشرف المؤبد لآل محمد صلى الله عليه و سلم
40.الأنوار المحمدية
41.تفسير قرة العين
42.شواهد الحق
43.الأساليب البديعة في فضل الصحابة و إقناع الشيعة
44.حسن الشرعية في مشروعية صلاة الظهر بعد الجمعة
45.تنبيه الأفكار
46.الرحمة المهداة في فضل الصلاة
47.الأربعين من أحاديث سيد المرسلين صلى الله عليه و سلم
48.الصلوات الألفية في الكمالات المحمدية
49.البشائر الإيمانية في المبشرات المنامية
50.الأسماء فيما لسيدنا محمد من الأسماء
Syaikh Yusuf juga terkenal dengan kuat beribadah dan ramai yang menyatakan bahawa beliau termasuk dalam kalangan wali Allah yang diberikan berbagai karamah. Kecintaan beliau kepada Junjungan Nabi SAW tidak boleh disangkal lagi, kerana beliau sungguh-sungguh mengamalkan sunnah-sunnah baginda serta sentiasalah beliau menyebut-nyebut akan Junjungan Nabi SAW pada lisannya dan dalam karangannya baik berupa sholawat maupun berbagai syair-syair pujian kepada Junjungan Nabi SAW. Manusia menyaksikan pada wajah beliau terpancar cahaya kesholehan. Syaikh Yusuf wafat di Beirut pada awal Ramadhan 1350H / 1932M setelah menghabiskan umurnya dalam ketaatan dan kecintaan kepada Allah SWT dan rasulNya SAW. Rahmat Allah ke atas beliau sentiasa dan moga ditempatkan dalam syurga yang penuh kenikmatan di samping kekasihnya Junjungan Nabi SAW. .... al-Fatihah.
Sekarang mari kita kenali pula keturunan Syeikh Yusuf Bin Ismail An-Nabhani yang mendapat didikan terus daripadanya iaitu pengasas Hizbut Tahrir Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani.
Beliau adalah Syeikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An-Nabhani. bahasa Arab: تقي الدين النبهاني; Gelaran “an-nabhani” dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, yang termasuk orang Arab penghuni padang sahara di Palestin. Mereka bermukim di daerah Ijzim yang termasuk dalam wilayah Haifa di Palestin Utara.
Kelahiran dan Pembesaran
Syeikh An-Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909. Beliau mendapat pendidikan awal dari ayahnya sendiri iaitu seorang alim yang faqih fid-din. Ayah beliau seorang pengajar ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestin. Ibunya pula menguasai beberapa cabang ilmu syariah, yang diperoleh dari datuknya, Syeikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani. Beliau adalah seorang qadhi (hakim), penyair, sasterawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.
Syeikh Yusuf an-Nabhani adalah termasuk tokoh sejarah masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Beliau berpendapat bahawa Khalifah Utsmaniyah merupakan penjaga agama dan akidah, simbol kesatuan kaum Muslimin, dan mempertahankan institusi umat. Syeikh Yusuf bertentangan dengan Muhammad Abduh dalam metode tafsir. Muhammad Abduh menyerukan perlunya penakwilan nas agar tafsir merujuk pada tuntutan keadaan dan waktu. Beliau juga bertentangan dengan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya yang sering menyerukan reformasi agama. Menurut beliau, tuntutan reformasi itu meniru Protestan. Dalam Islam tidak ada reformasi agama (seperti dalam pemahaman Protestan). Beliau juga menentang gerakan misionaris dan sekolah-sekolah misionaris yang mulai tersebar pada ketika itu.
Oleh kerana itu, di samping seorang ulama yang faqih, Syeikh Yusuf an-Nabhani juga terkenal sebagai seorang politikus yang selalu memperhatikan dan mengurus urusan umat. Berkenaan Syeikh Yusuf An-Nabhani, beberapa penulis biografi menyebutkan,
“(Dia adalah) Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad an-Nabhani asy Syafi’i. Julukan baginya ialah Abu al-Mahasin. Dia adalah seorang penyair, sufi, dan termasuk salah seorang qadhi yang terkemuka. Dia menangani peradilan (qadha’) di Qushbah Janin, yang termasuk wilayah Nablus. Kemudian beliau berpindah ke Constantinople (Istanbul) dan diangkat sebagai qadhi untuk menangani peradilan di Sinjiq yang termasuk wilayah Moshul. Beliau kemudian menjawat jawatan sebagai ketua Mahkamah Jaza’ di al-Ladziqiyah, sebelum berpindah ke al-Quds. Selanjutnya beliau menjabat sebagai ketua Mahkamah Huquq di Beirut. Beliau mengarang banyak kitab yang jumlahnya mencapai hingga 80 buah.”
Pembesaran Syeikh Taqiyuddin dalam suasana keagamaan seperti itu, ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan keperibadian dan pandangan hidupnya. Syeikh Taqiyuddin telah menghafal Al-Quran dalam usia yang amat muda, iaitu sebelum beliau mencapai umur 13 tahun. Beliau banyak mendapat pengaruh dari datuknya, Syeikh Yusuf an-Nabhani dalam banyak hal. Syeikh Taqiyuddin juga sudah mulai mengerti masalah-masalah politik yang penting, di mana datuk beliau menempuh atau pun mengalami peristiwa-peristiwa tersebut secara langsung kerana hubungannya yang rapat dengan para Khalifah Daulah Utsmaniyah saat itu. Beliau banyak menimba ilmu melalui majlis-majlis dan diskusi-diskusi fiqih yang diselenggarakan oleh datuknya.
Kecerdasan dan kecerdikan Syeikh Taqiyuddin yang menonjol tatkala mengikuti majlis-majlis ilmu tersebut telah menarik perhatian datuknya. Oleh sebab itu, datuk beliau begitu memerhatikan Syeikh Taqiyuddin dan berusaha meyakinkan ayah beliau –Syeikh Ibrahim bin Musthafa– mengenai perlunya menghantar Syeikh Taqiyuddin ke al-Azhar untuk melanjutkan pendidikan beliau dalam ilmu syariah.
Ilmu dan Pendidikan
Syeikh Taqiyuddin menerima pendidikan dasar mengenai ilmu syariah dari ayah dan datuk beliau, yang telah mengajarkan Al-Quran sehingga beliau hafal al-Quran seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga mendapatkan pendidikan awalnya di sekolah tempatan iaitu di sekolah awal daerah Ijzim. Kemudian beliau berpindah ke Akka untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum beliau menamatkan sekolahnya di Akka, beliau telah bertolak ke Kaherah untuk meneruskan pendidikannya di al-Azhar, menyahut saranan dari datuknya, Syeikh Yusuf an-Nabhani.
Syeikh Taqiyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah al-Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan (mumtaz jiddan). Lalu beliau melanjutkan pembelajarannya di Kulliyah Darul Ulum yang waktu itu merupakan cabang al-Azhar dan secara bersamaan beliau juga belajar di Universiti al-Azhar. Beliau banyak menghadiri halqah-halqah ilmiah di al-Azhar yang dianjurkan oleh tokoh-tokoh ulama al-Azhar, seperti Syeikh Muhammad Al-Khidir Husain –rahimahullah– seperti yang pernah disarankan oleh datuk beliau. Menurut sistem lama al-Azhar, para mahasiswanya dapat memilih beberapa orang syeikh al-Azhar dan menghadiri halqah-halqah mereka dalam ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariah lainnya seperti fiqih, usul fiqih, hadis, tafsir, tauhid dan sebagainya.
Walaupun Syeikh Taqiyuddin berada dalam sistem pembelajaran al-Azhar yang lama dengan Darul Ulum, akan tetapi beliau tetap menampakkan keunggulan dan keistimewaan dalam setiap pembelajarannya. Syeikh Taqiyuddin telah menarik perhatian kawan-kawan dan para gurunya kerana kedalamannya dalam berfikir serta kuatnya pendapat serta hujah yang beliau lontarkan dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi ilmiah yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmu yang ada pada waktu itu, baik di Kaherah mahupun di negeri-negeri Islam lainnya. Syeikh Taqiyuddin menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932 dan pada tahun yang sama beliau menamatkan pula kuliahnya di al-Azhar asy-Syarif
Dalam forum-forum halqah ilmiah yang diikuti oleh Syeikh Taqiyuddin, beliau amat dikenali oleh kawan-kawan dan sahabat-sahabat terdekatnya dari kalangan al-Azhar, sebagai seorang yang berfikiran tajam dan genius. Ini kerana, beliau akan memberikan hujah dan pendapat yang begitu kuat dan mendalam yang akan membuatkan orang tertarik dan yakin terhadap pandangannya.
Ijazah Yang Dimiliki
Ijazah yang diraih oleh Syeikh Taqiyuddin antaranya adalah:
1. Ijazah Tsanawiyah al-Azhariyah
2. Ijazah al-Ghuraba’ dari al-Azhar
3. Diploma Bahasa dan Sastera Arab dari Dar al-Ulum;
4. Ijazah dalam Peradilan dari Ma‘had al-Ali li al-Qadha’ (Sekolah Tinggi Peradilan), salah satu cabang al-Azhar.
5. Pada tahun 1932 beliau meraih Syahadah al-‘Alamiyyah (Ijazah Internasional) Syariah dari Universiti al-Azhar asy-Syarif dengan mumtaz jiddan.
Aktiviti Beliau Setelah Tamat Kuliah
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani kembali ke Palestin, dan kemudian bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah tempatan di Haifa di bawah Kementerian Pendidikan Palestin. Di samping itu, beliau juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyyah lain di Haifa.
Beliau sering berpindah-randah lebih dari satu daerah dan sekolah semenjak tahun 1932 sehingga tahun 1938. Beliau kemudiannya mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syariah, kerana beliau melihat pengaruh imperialis Barat (“westernisasi”) dalam bidang pendidikan yang ternyata lebih besar daripada bidang peradilan. Dalam hal ini beliau berkomentar:
“Adapun golongan terpelajar, maka para penjajah di sekolah-sekolah missionaris mereka telah menetapkan sendiri kurikulum-kurikulum pendidikan dan tsaqafah berdasarkan falsafah dan hadharah (peradaban) yang khas dari kehidupan mereka, baik sebelum adanya pendudukan kaum imperialis tersebut mahupun sesudahnya. Lalu, tokoh-tokoh Barat dijadikan sumber tsaqafah (kebudayaan) sebagaimana sejarah dan kebangkitan barat dijadikan sumber asal bagi apa yang merosakkan cara berfikir kita.”
Oleh sebab itu, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani lalu menjauhi bidang pengajaran dalam Kementerian Pendidikan, dan mulai mencari pekerjaan lain dengan pengaruh peradaban Barat yang relatif lebih sedikit. Beliau tidak melihat pekerjaan yang lebih utama selain pekerjaan di Mahkamah Syariah yang dipandangnya merupakan lembaga yang menerapkan hukum-hukum syara’. Dalam hal ini beliau berkata,
“Adapun an-Nizhamul Ijtima’iy, yang mengatur hubungan lelaki dan wanita, dan segala hal yang terbit darinya (yakni al-Ahwalu asy-Syakhshiyyah), tetap menerapkan syari’at Islam sehingga sekarang, meskipun telah berlaku penjajahan dan penerapan hukum-hukum kufur. Tidak diterapkan sama sekali selain syariat Islam dalam bidang itu sehingga saat ini…”
Maka dari itu, Syeikh Taqiyuddin sangat berkeinginan untuk bekerja di Mahkamah Syariah. Dan ternyata banyak kawan beliau (yang pernah sama-sama belajar di al-Azhar) bekerja di sana. Dengan bantuan mereka, Syeikh Taqiyuddin akhirnya diberi jawatan sebagai setiausaha di Mahkamah Syariah Beisan. Beliau kemudian dipindahkan ke Thabriya. Namun demikian, kerana beliau mempunyai cita-cita dan pengetahuan dalam masalah peradilan, maka beliau mengajukan permohonan kepada al-Majlis al-Islami al-A’la, agar menerima permohonannya untuk mendapatkan tanggungjawab menangani peradilan. Dalam hal ini, beliau merasakan dirinya mempunyai kelayakan yang mencukupi untuk menangani masalah peradilan.
Setelah lembaga peradilan menerima permohonannya, lalu beliau ke Haifa sebagai ketua setiausaha (Basy Katib) di Mahkamah Syariah Haifa. Kemudian pada tahun 1940, beliau diangkat sebagai Musyawir (Penolong Qadhi) dan beliau terus memegang kedudukan ini hingga tahun 1945, yakni saat beliau dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadhi di Mahkamah Ramallah sehingga tahun 1948. Setelah itu, beliau keluar dari Ramallah menuju Syam setelah Palestin jatuh ke tangan Yahudi.
Pada tahun 1948 itu pula, sahabatnya al-Ustadz Anwar al-Khatib mengirim surat kepada beliau, yang isinya meminta beliau agar kembali ke Palestin untuk diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syariah al-Quds. Syeikh Taqiyuddin menerima permintaan itu dan kemudian beliau diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syariah al-Quds pada tahun 1948.
Kemudian, Al Ustadz Abdul Hamid As-Sa’ih iaitu Ketua Mahkamah Syariah dan Ketua Mahkamah Isti’naf pada waktu itu, telah mengangkat Syeikh Taqiyuddin sebagai anggota Mahkamah Isti’naf, dan beliau tetap memegang kedudukan itu sehingga tahun 1950. Pada tahun 1950 inilah, beliau lalu mengajukan permohonan mengundurkan diri, kerana beliau mencalonkan diri untuk menjadi anggota Majlis Niyabi (Majlis Perwakilan).
Pada tahun 1951, Syeikh an-Nabhani berkunjung ke kota Amman untuk menyampaikan ceramah-ceramahnya kepada para pelajar Madrasah Tsanawiyah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Usaha beliau ini berterusan sehingga awal tahun 1953, ketika beliau mulai sibuk dengan penubuhan Hizbut Tahrir, yang telah beliau rintis antara tahun 1949 hingga 1953
Aktiviti Politik
Sejak remaja Syeikh an-Nabhani sudah memulai aktiviti politiknya kerana pengaruh datuknya, Syeikh Yusuf an-Nabhani, yang pernah terlibat dengan diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh dengan peradaban Barat, seperti Muhammad Abduh, para pengikut idea pembaharuan, tokoh-tokoh Freemason, dan pihak-pihak lain yang tidak puas hati dan membangkang terhadap Daulah Utsmaniyah. Sejak usia muda, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani telah bergelut dengan masalah-masalah politik ketika dibimbing oleh datuknya. Begitu pula ketika beliau mengikuti kuliah di Dar al-Ulum dan al-Azhar, Teman-teman beliau semasa kuliah menceritakan aktiviti beliau yang tidak pernah lelah dalam diskusi politik dan keilmuan. Mereka juga sangat menghargai sumbangan beliau dalam sejumlah diskusi politik. Di dalamnya beliau senantiasa mengkritik kemunduran umat serta mendorong aktiviti politik dan intelektual untuk membangkitkan umat dan mewujudkan kembali Daulah Islam. Beliau juga menggunakan kesempatan itu untuk mendorong dan mendesak para ulama al-Azhar dan lembaganya memainkan peranan aktif dalam membangkitkan umat.
Perdebatan-perdebatan politik dan aktiviti dakwah di antara para mahasiswa di al-Azhar dan di Kulliyah Darul Ulum, telah menyingkapkan pula keprihatinan Syeikh Taqiyuddin akan masalah-masalah politik. Beberapa orang sahabatnya telah menceritakan sikap-sikapnya yang melaungkan seruan-seruan yang bersifat menentang, yang mampu memimpin situasi al-Azhar saat itu. Di samping itu, beliau juga melakukan berbagai perdebatan dengan para ulama al-Azhar mengenai apa yang harus dilakukan dengan serius untuk membangkitkan umat Islam. Setelah kembali dari pembelajarannya di al-Azhar, beliau tetap memerhatikan usaha-usaha “westernisasi” umat Islam yang dilakukan oleh para penjajah seperti Inggeris dan Perancis. Beliau juga banyak menjalin hubungan dan berdialog dengan para ulama, tokoh pergerakan dan tokoh masyarakat setempat dalam usaha beliau membangkitkan kembali umat Islam.
Sebenarnya ketika Syeikh An-Nabhani kembali dari Kaherah ke Palestin, iaitu ketika beliau menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestin, beliau sudah melakukan kegiatan yang cukup menarik perhatian, yakni memberikan kesedaran kepada para murid yang diajarnya dan orang-orang yang ditemuinya mengenai situasi yang ada pada saat itu. Beliau juga membangkitkan perasaan marah dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa muridnya, di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam. Beliau menyampaikan semua ini melalui khutbah-khutbah, dialog-dialog, dan perdebatan-perdebatan yang beliau lakukan. Pada setiap topik yang beliau sajikan. Hujah beliau senantiasa kuat. Beliau memang dikenal mempunyai kemampuan yang tinggi untuk meyakinkan orang lain.
Ketika beliau berpindah pekerjaan ke bidang peradilan, lalu beliau berusaha menjalin hubungan dengan para ulama yang beliau kenal dan beliau temui di Mesir. Kepada mereka beliau mengajukan idea untuk membentuk sebuah parti politik yang berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum Muslimin dan mengembalikan kemuliaan dan kejayaan mereka.
Untuk tujuan ini pula, beliau berpindah-randah dari satu kota ke kota lain di Palestin dan mengajukan idea yang sudah mendarah daging dalam jiwa beliau itu kepada tokoh-tokoh terkemuka, baik dari kalangan ulama’ mahupun para pemikir. Kedudukan beliau di Mahkamah Isti’naf di al-Quds sangat membantu aktiviti beliau ini.
Dengan kelebihannya, beliau dapat menyelenggarakan berbagai seminar dan mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di Palestin. Dalam kesempatan itu, beliau mengadakan dialog dengan mereka mengenai metode kebangkitan yang benar. Beliau banyak berdebat dengan para pendiri organisasi-organisasi sosial Islam (Jam’iyat Islamiyah) dan parti-parti politik yang bercorak nasionalis dan patriotik. Beliau menjelaskan kekeliruan langkah mereka, kesalahan pemikiran mereka, dan rosaknya kegiatan mereka. Selain itu, beliau juga sering melontarkan pelbagai masalah politik dalam khutbah-khutbah beliau dan pada majlis-majlis keagamaan di masjid-masjid, termasuklah di Masjidil Aqsa, masjid al-Ibrahim al-Khalil (Hebron) dan lain-lain.
Dalam kesempatan seperti itu, beliau selalu menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, dengan menyatakan bahawa semua itu merupakan rekayasa penjajah Barat, dan merupakan salah satu sarana penjajah Barat agar dapat terus mencengkam negeri-negeri umat Islam. Beliau juga sering membongkar strategi-strategi politik negara-negara Barat dan mengungkap niat-niat jahat mereka untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Selain itu, beliau berpandangan bahawa kaum Muslimin berkewajiban untuk mendirikan parti politik yang berasaskan Islam.
Semua ini ternyata membuat Raja Abdullah bin al-Hussain marah, lalu dipanggillah Syeikh an-Nabhani untuk menghadap kepadanya, terutama kerana khutbah yang pernah beliau sampaikan di Masjid Raya Nablus. Beliau diminta hadir di suatu majlis lalu ditanya oleh Raja Abdullah mengenai apa yang menyebabkan beliau menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, termasuk juga negeri Jordan. Namun Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani tidak menjawab pertanyaan itu, malah berpura-pura tidak mendengar. Ini menyebabkan Raja Abdullah mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Akan tetapi Syeikh Taqiyuddin tetap tidak menjawabnya.
Maka Raja Abdullah pun naik marah dan berkata kepada beliau, “Apakah kamu akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi, dan apakah kamu juga akan memusuhi orang yang kami musuhi?”
Lalu, Syeikh Taqiyuddin berkata kepada dirinya sendiri, “Kalau aku lemah untuk mengucapkan kebenaran hari ini, lalu apa yang harus aku ucapkan kepada orang-orang sesudahku nanti?”
Kemudian Syeikh Taqiyuddin bangkit dari tempat duduknya seraya berkata, “Aku berjanji kepada Allah, bahawa aku akan menolong dan melindungi agamaNya dan akan memusuhi orang yang memusuhi (agama)Nya. Dan aku amat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik!”
Maka merah padamlah muka Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, sehingga dia lalu mengeluarkan perintah untuk menangkap Syeikh Taqiyuddin dan mengusirnya keluar dari majlis tersebut. Dan kemudian Syeikh Taqiyuddin benar-benar ditangkap. Namun, Raja Abdullah kemudiannya menerima permohonan maaf dari beberapa ulama atas sikap Syeikh Taqiyuddin tersebut lalu memerintahkan pembebasannya, sehingga Syeikh Taqiyuddin tidak sempat bermalam di tahanan.
[sunting] Pembentukan Parti Politik
Syeikh Taqiyuddin lalu kembali ke Al-Quds dan sebagai kesan dari kejadian tadi, beliau mengajukan pengunduran diri dan menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja melaksanakan tugas pemerintahan apa pun.”
Syeikh Taqiyuddin kemudian mengajukan pencalonan dirinya untuk menduduki Majlis Perwakilan. Namun, oleh kerana sikapnya yang tegas, aktiviti politik serta usahanya yang bersungguh-sungguh untuk membentuk sebuah parti politik, dan keteguhannya berpegang kepada agama, maka akhirnya hasil undian menunjukkan bahawa Syeikh Taqiyuddin dianggap tidak layak untuk duduk dalam Majlis Perwakilan.
Namun demikian, aktiviti politik Syeikh Taqiyuddin tidak pernah terkandas dan tekadnya pun tidak pernah luntur. Beliau terus mengadakan pertemuan dan diskusi-diskusi, sehingga akhirnya beliau berhasil meyakinkan sejumlah ulama dan qadhi terkemuka serta para tokoh politik dan pemikir untuk membentuk sebuah parti politik yang berasaskan Islam. Setelah itu, beliau memberikan kepada mereka kerangka organisasi bagi penubuhan suatu parti dan konsep-konsep pemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsaqafah bagi parti tersebut. Ternyata, pemikiran-pemikiran beliau ini dapat diterima dan dipersetujui oleh para ulama tersebut. Bermula dari sini, maka aktiviti beliau mula difokuskan kepada usaha pembentukan dan penubuhan Hizbut Tahrir.
Syeikh Taqiyuddin mula melakukan persiapan yang sesuai untuk struktur parti, pemikiran parti dan sebagainya. Persiapan awal ini sebenarnya bermula sejak 1949 lagi ketika beliau masih menjawat jawatan Qadhi di al-Quds. Pada tahun 1950 beliau menulis buku beliau yang pertama, iaitu Inqadz Filisthin (Membebaskan Palestin) di mana beliau merungkai akar yang sangat dalam, bahawa Islam telah hadir di Palestin sejak abad VII lagi, dan sebab utama kemunduran yang menerkam masyarakat Arab adalah kerana mereka telah menarik diri (dari Islam) dan menyerahkan diri pada kekuasaan penjajah. Jatuhnya Palestin ke tangan Yahudi tahun 1948 memberikan keyakinan kepada beliau, bahawa hanya aktiviti yang terorganisasi dan memiliki akar pemikiran Islam yang kuat sahajalah yang akan dapat mengembalikan kekuatan dan keagungan umat Islam.
Pada tahun 1950, An-Nabhani bercadang menghadiri satu Persidangan Kebudayaan Liga Arab di Alexandria, Mesir, namun beliau telah dihalang. Padahal, Menteri Pendidikan dan Qadhi Qudhat (Hakim Agung) waktu itu, iaitu Syeikh Muhammad al-Amin as-Sanqaythi, telah pun mengizinkannya untuk hadiri. Akhirnya, beliau mengirimkan surat yang sangat panjang kepada para peserta persidangan yang kemudian dikenali sebagai Risalah al-Arab. Beliau menekankan bahawa misi yang benar dan hakiki untuk Arab adalah Islam. Hanya dengan Islam sahajalah pemikiran dan kebangkitan kembali politik umat akan boleh dicapai. Malangnya tidak ada respons sama sekali dari para anggota persidangan terhadap surat ini. Hal ini lebih menguatkan keyakinan Syeikh Taqiyuddin sebelumnya, bahawa pendirian parti politik menjadi perkara yang sangat penting dan mendasar.
[sunting] Hizbut Tahrir Di dirikan
Oleh kerana itu, pada akhir 1952 dan awal 1953, seluruh persiapan diwujudkan dalam langkah yang praktis untuk mengumumkan kewujudan dan penubuhan Hizbut Tahrir. Lalu pada tahun 1953, Hizbut Tahrir telah didirikan dengan rasminya oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani di al-Quds.
Undang-undang kepartian Utsmani waktu itu masih diterapkan di Palestin. Ia memperuntukkan bahawa, cukup dengan telah disampaikannya permintaan penubuhan parti ke lembaga tertentu, dan cukup dengan publikasi bahawa permintaan itu telah diterima dan publikasi pendirian parti dilakukan, maka itu sudah dinilai sebagai izin rasmi bagi penubuhan parti dan izin bagi parti untuk melaksanakan aktivitinya. Saat itu belum ditetapkan aturan kepartian yang baru. Justeru, pengumuman mengenai pembentukan Hizbut Tahrir telah tersiar di Harian ash-Sharih edisi 14 Mac 1953, pada saat Syeikh Taqiyuddin mengajukan permohonan rasmi kepada Departemen Dalam Negeri Jordan. Di dalam surat itu, terdapat permohonan agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktiviti politiknya. Di dalam surat tersebut juga, terdapat pula struktur organisasi Hizbut Tahrir dengan susunan sebagai berikut:
1. Taqiyuddin An-Nabhani, sebagai pemimpin/ketua Hizbut Tahrir.
2. Dawud Hamdan, sebagai wakil pemimpin merangkap Setiausaha.
3. Ghanim Abduh, sebagai Bendahara.
4. Dr. Adil An-Nablusi, sebagai anggota.
5. Munir Syaqir, sebagai anggota.
[sunting] Parti Politik Hizbut Tahrir
Dengan permohonan yang diajukan tersebut, diharapkan agar pihak berkuasa dapat memaklumi penubuhan sebuah parti politik iaitu Hizbut Tahrir. Lalu, Hizbut Tahrir telah menyewa sebuah rumah di kota al-Quds dan memasang papan tanda yang memaparkan nama “Hizbut Tahrir”. Akan tetapi Departemen Dalam Negeri Jordan terus mengirimkan sepucuk surat kepada Hizbut Tahrir yang melarangnya untuk melakukan aktivitinya. Di bawah ini adalah teks suratnya :
--------------------------------------------------------------------------------
No: ND/70/52/916 Tarikh: 14 Mac 1953
Kepada Yang Terhormat,
Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani
dan seluruh pendiri Hizbut Tahrir
Saya telah meneliti berita yang disiarkan oleh surat khabar as-Sharih edisi hari ini yang berjudul, “Organisasi Pembebasan (Hai’atut Tahrir) : Pembentukan Parti Politik Secara Rasmi di Al Quds.”
Saya berharap dapat memberi pengertian kepada anda sekalian, bahawa apa yang disiar mengenai pembentukan parti secara rasmi di al-Quds itu, ternyata tidak dapat dibenarkan. Selain itu, kami ingin maklumkan bahawa surat balasan yang anda terima dari ketua pejabat saya, menunjukkan bahawa permohonan anda telah sampai kepada saya. Bahawasanya, Undang-Undang Dasar (Perlembagaan) yang ada tidak mengizinkan aktiviti anda sekalian. Hal itu kerana permohonan pembentukan parti, tergantung kepada kepentingan negara – seperti yang saya lampirkan melalui beberapa catatan yang dikirimkan kepada anda sekalian, yang ternyata tidak mengizinkan adanya pendirian parti.
Atas Nama Departemen Dalam Negeri,
Ali Hasanah
--------------------------------------------------------------------------------
Atas perintah pihak penguasa setelah datangnya surat tersebut, pihak polis segera menyerbu rumah yang disewa oleh Hizbut Tahrir tadi dan terus mencabut papan tanda (nama) yang ada di sana. Hizbut Tahrir lalu dilarang untuk melakukan sebarang kegiatan. Sejak saat itu, dan bahkan sehingga saat ini, Hizbut Tahrir tidak dibenarkan melakukan aktiviti politiknya secara bebas.
Namun demikian, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani sama sekali tidak peduli dan tidak memperhitungkan semua itu. Bahkan, beliau tetap teguh dengan pendiriannya untuk melanjutkan misinya menyebarkan risalah yang telah beliau yakini sebagai asas-asas bagi Hizb. Beliau memang sangat menaruh harapan untuk membangkitkan umat Islam melalui Hizbut Tahrir, iaitu gerakan yang telah beliau dirikan dan yang beliau telah tetapkan falsafahnya dengan karakter-karakter tertentu yang beliau gali dari nas-nas syara’ dan sirah Rasulullah SAW.
Oleh kerana itu, Syeikh Taqiyuddin kemudian menjalankan aktivitinya secara rahsia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (qiyadah) yang baru bagi Hizb, di mana beliau sendiri yang menjadi pucuk pimpinannya. Dewan Pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah. Beliau terus memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizbut Tahrir ini sehingga wafatnya pada tanggal 25 Rejab 1398H, bertepatan dengan 20 Jun 1977M.
Pada tahun yang sama (1953), pada masa kabinet Tawfiq Abdul Hadi, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani bersama Ustadz Dawud Hamdan ditangkap di Al-Quds, sementara Munir Syaqir dan Ghanim Abduh ditangkap di Amman. Beberapa hari berikutnya, Dr. Abdul Aziz al-Khiyath turut ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.
Pada waktu itu Hizbut Tahrir berhasil meyakinkan sejumlah wakil rakyat dan orang-orang kabinet di Amman. Akhirnya, sekelompok wakil rakyat, peguam, peniaga dan sejumlah orang yang memiliki kedudukan mengirimkan petisyen yang menuntut pihak berkuasa yang berkenaan agar membebaskan Syeikh Taqiyuddin dan teman-temannya. Petisyen itu ditandatangani oleh seramai 37 orang.
Dr. Abdul Aziz Al-Khiyath menceritakan,
“Tiga hari setelah saya masuk penjara, di pejabat ketua penjara, seorang yang sangat baik, H. Salim, terjadi diskusi antara kami dan utusan ketua Kabinet, Muhammad Ali Badir, Rasyid al-Khiyath, dan seorang wakil rakyat, Rasyad Thawqan. Diskusi membahas dakwah Islamiyah dan aktiviti Hizbut Tahrir. Kami menyatakan bahawa dalam aktiviti kami tidak ada yang menyalahi undang-undang, tidak ada seruan revolusi ataupun huru-hara, bahkan tidak ada seruan kepada kekerasan. Kami tidak lain kecuali menyerukan pemikiran kami dengan metode yang damai dan hal itu dijamin oleh Perlembagaan. Mereka sefahaman dengan kami. Hari berikutnya, kami dibebaskan.”
Glubb Pasya, seorang Inggeris yang kala itu menjadi Ketua Staf Angkatan Bersenjata Jordan, yang disebut Arab Legion of Inggeris Army -dialah yang sebenar-benarnya berkuasa di Jordan- mendesak pemerintahan boneka di Jordan untuk menggunakan semua sarana yang diperlukan untuk 'mencekup' Hizbut Tahrir dan aktivitinya. Pada tahun 1954 dikeluarkan Qanun al-Wa’zhu wa al-Irsyad yang menghalang seseorang dari menyampaikan ceramah, khutbah, atau pengajaran di masjid kecuali mendapat izin rasmi dari Qadhi Qudhat. Atas dasar UU ini, sejumlah tokoh Hizbut Tahrir ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.
Pada November 1953, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani berpindah ke Damaskus dan menyebarkan dakwah di sana, tetapi telah diheret oleh perisik Syiria ke perbatasan Syria-Lebanon. Namun, atas bantuan Mufti Lebanon, Syeikh Hasan al-‘Alaya, akhirnya beliau diizinkan masuk ke Lebanon yang mana sebelumnya dihalang begitu rupa.
Beliau lalu menyebarkan pemikiran Islam di Lebanon dengan leluasa sehingga tahun 1958, iaitu ketika pemerintah Lebanon mulai mempersempit kehidupan beliau kerana merasakan bahaya dari pemikiran yang beliau bawa. Akhirnya, beliau berpindah dari Beirut ke Tharablus dan terpaksa mengubah penampilan bagi membolehkan beliau menjalankan kepemimpinan Hizbut Tahrir.
Selama itu, beliau terus memegang Qiyadah (Kepemimpinan) HT. Beliau juga terus memantau berita baik dari surat khabar, berbagai media, radio, dan sebagainya, yang kemudiannya menulis analisis politik dan disebarkan atas nama HT.
Sepanjang masa kepemimpinannya, beliau telah melakukan berbagai kegiatan politik yang meluas di pelbagai tempat dan negara. Penyudah yang paling gemilang dari peninggalan beliau ialah beliau telah berjaya mewariskan kepada umat Islam di seluruh dunia, sebuah parti politik yang berasaskan Islam, yang teguh, mempunyai fikrah yang jernih dan kuat, dan kini tersebar luas di merata penjuru dunia .
Semua usaha beliau ini telah menjadikan Hizbut Tahrir sebagai sebuah parti politik internasional, dengan kekuatan Islam yang luar biasa, sehingga Hizbut Tahrir sangatlah diperhitungkan dan disegani oleh seluruh pemikir dan politikus, baik dari kaum Muslimin mahupun kuffar, baik yang bertaraf nasional mahupun internasional, walaupun dalam keadaan Hizbut Tahrir yang tetap dihalang dari beraktiviti di banyak negara di dunia.
Di bawah kepemimpinan beliau, Hizbut Tahrir telah berusaha mengambil alih kekuasaan di beberapa negara Arab, seperti di Jordan pada tahun 1969, di Mesir pada tahun 1973, dan di Iraq pada tahun 1972. Negara lain adalah seperti di Tunisia, Aljazair, dan Sudan. Sebahagian usaha ini disiarkan oleh media massa, sedang sebahagian lainnya memang sengaja tidak diumumkan oleh media.
Selain itu, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan banyak selebaran (nasyrah) politik yang penting, yang mengungkapkan berbagai konspirasi jahat, baik dari pihak Barat mahupun agen-agen mereka dari kalangan penguasa kaum Muslimin, untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Hizbut Tahrir juga banyak mengirimkan memorandum politik penting kepada para politikus dan penguasa di pelbagai negeri-negeri umat Islam, dengan maksud agar mereka menukar sistem sekular yang sedia ada dengan sistem Khilafah, atau dengan maksud memberi nasihat dan peringatan atas tindakan-tindakan mereka yang dianggap sebagai pengkhianatan kepada umat Islam.
Hakikatnya, aktiviti politik merupakan aspek yang paling menonjol dalam kehidupan Syeikh Taqiyuddin. Bahkan, sehingga ada yang berpendapat bahawa beliau adalah Hizbut Tahrir itu sendiri, kerana kemampuan beliau yang tinggi untuk melakukan analisis politik, sebagaimana yang nampak dalam penulisan selebaran politik yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir. Beliau juga banyak menelaah peristiwa-peristiwa politik, lalu mendalaminya dengan amat cermat dan mendalam, disertai pemahaman sempurna terhadap situasi-situasi politik dan idea-idea politik yang ada.
Maka, mereka yang mencermati selebaran-selebaran politik yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, juga kitab-kitab mengenai politik yang ditulis oleh Syeikh Taqiyuddin, serta garis-garis besar langkah politik yang beliau susun untuk membina pemikiran politik syabab Hizbut Tahrir, akan dapat menyimpulkan bahawa Syeikh Taqiyuddin memang benar-benar mempunyai kemampuan yang hebat dalam masalah politik. Sungguh, beliau termasuk salah seorang pemikir dan politikus terulung pada abad ke-20.
[sunting] Meninggal Dunia
Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani meninggal pada tahun 1398H / 1977M dan dikuburkan di Perkuburan Al-Auza’i, Beirut. Beliau telah meninggalkan karya-karya agung yang dapat dianggap sebagai kekayaan pemikiran yang tak ternilai harganya. Karya-karya ini menunjukkan bahawa Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani merupakan seorang yang mempunyai pemikiran yang genius dan seorang penganalisis yang unggul. Beliaulah yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizbut Tahrir, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara’, mahupun yang lainnya seperti masalah ideologi, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, uqubat dan sebagainya. Inilah yang mendorong sebahagian peneliti untuk mengatakan bahawa Hizbut Tahrir adalah Taqiyuddin An Nabhani, dan sehingga ada yang menyatakan bahawa Hizbut Tahrir adalah satu mazhab.
[sunting] Karya-karya Beliau
Kebanyakan karya Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani berupa kitab-kitab tanzhiriyah (penetapan pemahaman/pandangan) dan tanzhimiyah (penetapan peraturan), atau kitab-kitab untuk mengajak kaum Muslimin untuk mengembalikan semula kehidupan Islam dengan jalan mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah. Al-Ustadz Dawud Hamdan telah menjelaskan karakter kitab-kitab Syeikh Taqiyuddin – yang termasuk kitab-kitab yang disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir– secara mendalam dan tepat dengan pernyataannya,
“Sesungguhnya kitab ini –yakni kitab Ad Daulah Al-Islamiyyah– bukanlah sebuah kitab untuk sekadar dipelajari, akan tetapi kitab ini dan kitab lainnya yang telah disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir –seperti kitab Usus An-Nahdhah, Nizhamul Islam, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, An-Nizham Al-Iqthishady fi Al-Islam, Nizham Al-Hukm, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, At-Takatul Al-Hizbi, Mafahim Hizhut Tahrir, Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir– menurut saya adalah kitab yang benar-benar membangkitkan kaum Muslimin dengan jalan mengembalikan kehidupan Islam dan mengembang dakwah Islamiyah.”
Oleh kerana itu, kitab-kitab Syeikh Taqiyuddin terlihat istimewa kerana mencakup dan meliputi berbagai aspek kehidupan dan permasalahan manusia. Kitab-kitab yang mengupas aspek-aspek kehidupan individu, politik, kenegaraan, sosial dan ekonomi tersebut, merupakan landasan ideologi dan politik bagi Hizbut Tahrir, di mana Syeikh Taqiyuddin menjadi motornya (penggeraknya).
Oleh sebab karya-karya Syeikh Taqiyuddin mencakup pelbagai bidang, maka tak hairanlah jika karya-karya beliau mencapai lebih dari 30 kitab. Ini belum termasuk memorandum-memorandum politik yang beliau tulis untuk memecahkan permasalahan politik, serta nasyrah-nasyrah dan penjelasan-penjelasan mengenai masalah-masalah pemikiran dan masalah-masalah politik yang penting.
Karya-karya Syeikh Taqiyuddin, baik yang berkenaan dengan politik mahupun pemikiran, mempunyai satu identiti yang sama iaitu dengan adanya kesedaran, kecermatan dan kejelasan, serta sangat sistematik, sehingga beliau dapat menampilkan Islam sebagai ideologi yang sempurna dan komprehensif yang diistinbath dari dalil-dalil syar’i yang terkandung dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Karya-karya beliau dapat dikategorikan sebagai “buah pemikiran” pertama yang disajikan oleh seorang pemikir Muslim pada era moden ketika itu dan hingga kini.
Karya-karya Syeikh Taqiyuddin An Nabhani yang paling terkenal, yang memuat pemikiran dan ijtihad beliau antara lain :
1. Nizhamul Islam.
2. At Takattul Al Hizbi.
3. Mahafim Hizbut Tahrir.
4. An Nizhamul Iqthishadi fil Islam.
5. An Nizhamul Ijtima’i fil Islam.
6. Nizhamul Hukm fil Islam.
7. Ad Dustur.
8. Muqaddimah Dustur.
9. Ad Daulatul Islamiyah.
10. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah (3 jilid).
11. Mafahim Siyasiyah li Hizbut Tahrir.
12. Nazharat Siyasiyah li Hizbut Tahrir.
13. Nida’ Haar.
14. Al-Khilafah.
15. At-Tafkir.
16. Ad-Dusiyah.
17. Sur’atul Badihah.
18. Nuqthatul Inthilaq.
19. Dukhu Al-Mujtama’.
20. Inqadzu Filisthin.
21. Risalatul Arab.
22. Tasalluh Mishr.
23. Al-Ittifaqiyyah Ats-Tsana’iyyah Al-Mishriyyah As-Suriyyah wal Yamaniyyah.
24. Hallu Qadhiyah Filisthin ala Ath-Thariqah Al-Amrikiyyah wal Inkiliziyyah.
25. Nazhariyatul Firagh As-Siyasi Haula Masyru’ Aizanhawar.
Semua ini tidak termasuk ribuan selebaran-selebaran (nasyrah) mengenai pemikiran, politik, dan ekonomi serta beberapa kitab yang dikeluarkan oleh Syeikh Taqiyuddin atas nama anggota Hizbut Tahrir –dengan maksud agar kitab-kitab itu mudah beliau sebarluaskan– setelah adanya undang-undang yang melarang peredaran kitab-kitab karya beliau. Di antara kitab itu adalah :
1. As-Siyasah Al-Iqthishadiyah Al-Mutsla.
2. Naqdlul Isytirakiyah Al-Marksiyah.
3. Kaifa Hudimat Al-Khilafah.
4. Ahkamul Bayyinat.
5. Nizhamul Uqubat.
6. Ahkamush Shalat.
7. Al-Fikru Al-Islami.
Dan apabila karya-karya Syeikh Taqiyuddin tersebut ditelaah dengan ikhlas, adil dan saksama, terutama yang berkenaan dengan aspek hukum dan ilmu usul, akan nampak bahawa beliau sesungguhnya adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fuqaha dan mujtahidin yang terdahulu. Hanya saja, beliau tidak pernah mengikuti salah satu mazhab/aliran dalam berijtihad, baik mazhab akidah seperti Ahlus Sunah atau Syiah, mahupun mazhab fiqh seperti Syafie, Maliki, Hanafi, Hambali dan sebaginya. Dengan kata lain, beliau tidak pernah mengikuti dan tidak pernah mengisytiharkan bahawa beliau mengikuti suatu madzhab tertentu di antara madzhab-madzhab yang telah dikenal, akan tetapi beliau memilih dan menetapkan (mentabanni) usul fiqih beliau sendiri yang khusus baginya, dan dari situ beliau mengistinbat hukum-hukum syara’. Dan usul fiqh serta ijtihad beliau ini, sebahagian besarnya dijadikan pegangan oleh seluruh umat Islam yang bergabung di dalam Hizbut Tahrir.
Namun perlu diingat dan ditegaskan di sini, bahawasanya usul fiqih yang dibawa oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani tidaklah keluar dari metode fiqih yang benar sebagaimana salafu soleh, yang membatasi dalil-dalil syar’i pada Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas syar’ie, semata-mata.
[sunting] Rujukan
1.Laman web Hizbut Tahrir Malaysia - Amir Hizbut Tahrir. [2]
2.Laman web Hizbut Tahrir Britain - Sheikh Muhammad Taqiuddin al-Nabhani. [3]
3.Utusan Malaysia. ARKIB : 17/11/2008. "Tokoh perjuangan dari Al-Azhar". Oleh MOHAMAD FIKRI ROSLY[4]
4.Blog syiardandakwahislam - Pendiri dan Amir Pertama Hizbut Tahrir. [5]
Diambil dari http://ms.wikipedia.org/wiki/Syekh_Taqiyuddin_An_Nabhani
TOL DALAM ISLAM
Realiti Tol
Sebelum kita membincangkan lebih lanjut tentang hukum-hakam yang berkait dengan isu tol ini, perlu difahami dahulu apakah ‘status’ tol itu sendiri. Adakah tol ini sekadar kutipan wang, atau merupakan harga kepada perkhidmatan, atau umpama harga barang dagangan ataupun satu bentuk cukai yang dikenakan kepada rakyat? Jika diteliti dengan pemikiran yang sederhana sekalipun, setiap orang akan tahu bahawa tol adalah satu bentuk cukai yang dikenakan kepada pengguna lebuh raya dalam sesebuah negara. Ia bukan harga kepada perkhidmatan sebagaimana ‘bayaran’ kita menaiki teksi atau bas. Ia juga bukan harga barang dagangan untuk disamakan dengan harga bawang atau gula. Ternyata, tol hakikatnya mempunyai ciri-ciri yang sama dengan cukai dan ia adalah bentuk cukai yang dipungut ke atas seseorang yang melalui jalanraya/jambatan. Cuma bezanya, tol ini dikutip oleh individu (syarikat swasta) dan bukannya oleh negara (pemerintah). Apa pun, ia dikutip dengan izin/persetujuan dari negara. Justeru, tidak keterlaluan jika dikatakan konsep tol ini tidak ada bezanya dengan cukai jalan/jambatan yang dikutip oleh kumpulan-kumpulan samseng zaman dahulu kala yang memeras wang daripada orang ramai yang melaluinya.
Mungkin ada yang berpendapat bahawa syarikat-syarikat swasta tersebut telah mencurahkan modal mereka dalam membangunkan infrastruktur lebuh raya yang ada, maka sewajarnyalah mereka mengenakan bayaran sepertimana seorang pengusaha hotel yang mengenakan bayaran kepada mereka yang menginap di hotelnya. Inilah kesalahan pandangan orang yang tidak memahami hakikat tol. Di sinilah pentingnya umat Islam memahami realiti tol, dan seterusnya merujuk pula kepada dalil-dalil syara’ untuk melihat sama ada cukai jalan yang dipungut oleh ‘samseng jalanan’ ini halal atau haram.
Hukum Syara’ Tentang Kemudahan Awam
Islam telah mewajibkan ke atas negara (pemerintah) agar menyediakan segala bentuk kemudahan awam untuk kemaslahatan rakyat. Jalan raya adalah salah satu darinya. Segala infrastruktur lain seperti sistem pengangkutan, bekalan air, elektrik (sumber tenaga), hospital sekolah dan sebagainya wajib disediakan oleh negara secara percuma untuk setiap warganegara. Negara tidak boleh melarikan diri dari tanggungjawab ini atau mengalihkannya kepada individu atau pihak swasta untuk disempurnakan. Islam berbeza sama sekali dengan sistem Kapitalis yang diamalkan pada hari ini di mana sistem Kapitalis membenarkan mana-mana individu atau pun syarikat swasta untuk menyediakan infrastruktur-infrastruktur asas negara dan mengaut keuntungan darinya. Dalam sistem Islam, pemerintah itu bertugas untuk melayan rakyat dan salah satu bentuk pelayanan terhadap rakyat adalah penyediaan kemudahan-kemudahan asas ini. Perbelanjaan untuk membina dan menguruskannya diambil dari Baitul Mal. Di sinilah Baitul Mal berperanan dalam menguruskan perbelanjaan negara dalam melaksanakan semua kewajipan negara yang diperuntukkan oleh syara’.
Perlu difahami bahawa dengan mengatakan segenap keperluan ini menjadi tanggungjawab negara tidaklah bermaksud negara perlu membina semua kemudahan tersebut dengan sendiri. Negara dibenarkan mengupah syarikat-syarikat swasta untuk membina kemudahan-kemudahan tersebut bagi pihak negara dan mereka berhak untuk mendapat upah membangunkan infrastruktur tersebut. Mereka juga dibenarkan untuk mendapat upah atas kerja-kerja penyelenggaraan yang dilakukan. Apa yang tidak dibenarkan oleh syara’ adalah syarikat-syarikat tersebut ‘memiliki’ kemudahan tersebut dan mendapat keuntungan daripada bayaran yang dipungut dari rakyat yang menggunakan kemudahan yang disediakan. Inilah yang salah (sebagaimana di amalkan sekarang). Ini kerana pada asasnya, ia menjadi kewajipan negara untuk menyediakannya dan rakyat telah diberikan hak oleh syara’ ke atas kemudahan-kemudahan untuk dinikmati secara percuma. Pemberian hak kepada syarikat swasta untuk ‘memperniagakan’ kemudahan-kemudahan ini adalah satu pencabulan ke atas ketentuan syara’. Tindakan seperti ini tidak ada bezanya dengan seorang bapa yang mengupah seorang tukang rumah membina rumah mereka, lalu mengenakan bayaran kepada anak isterinya selama mana mereka tinggal di rumah tersebut!
Di sinilah umat Islam perlu memahami dan membezakan di antara hak dan kewajipan. Menyediakan kemudahan asas adalah kewajipan/tanggungjawab pemerintah dan menikmati kemudahan tersebut adalah hak rakyat. Apabila disebut kewajipan, maka ia adalah berkait dengan soal hukum syara’ (dan wajib merujuk kepada hukum syara’) dan nas syara’ dalam hal ini menjelaskan bahawa ia wajib disediakan secara percuma oleh orang yang ditaklifkan kewajipan tersebut (pemerintah). Jadi, haram bagi pemerintah memungut apa-apa bayaran di dalam menunaikan kewajipan ini. Ia umpama kewajipan/tanggungjawab seorang bapa untuk menyediakan rumah, makan dan pakai kepada anak isterinya. Haram bagi si bapa (yang ditaklifkan kewajipan tersebut) untuk memberi makan atau membeli baju untuk anak isterinya, kemudian mengenakan bayaran terhadap mereka. Haram juga bagi bapa/suami yang tinggal sebumbung dengan anak dan isteri, kemudian mengenakan bayaran sewa rumah kepada orang yang wajib dipeliharanya. Tempat tinggal dan nafkah adalah hak anak/isteri yang wajib di beri secara percuma. Begitulah haramnya bagi kerajaan membina segala kemudahan asas, kemudian mengenakan bayaran terhadap rakyatnya, walhal itu adalah kewajipan/tanggungjawab kerajaan di dalam melayani orang yang wajib dipeliharanya (rakyatnya) dan bagi rakyat pula, ia adalah hak yang mesti dinikmati secara percuma.
Tol Dari Perspektif Syara’
Adalah teramat jelas di dalam Islam bahawa tugas dan amanah yang diletakkan oleh Allah ke atas bahu pemimpin adalah untuk menjaga/memelihara rakyat. Di dalam sektor kemudahan awam, negara bertugas untuk membina segala infrastruktur dan menyelianya dan tidak boleh sama sekali bagi negara untuk menjadikannya sebagai milik swasta/negara, apatah lagi mengambil untung darinya. Dalam sesebuah pemerintahan yang mengamalkan ideologi Kapitalis (termasuk Malaysia), kerajaan dan kroni kerap menjadi penghisap darah rakyat. Kerajaan dan kroni semakin untung dan kaya raya manakala rakyat semakin menderita dan sengsara. Kerajaan bukan lagi menjadi pemelihara rakyat, namun menjadi pihak yang menzalimi dan menindas rakyat. Ada pun di dalam Islam, hubungan kerajaan dengan rakyat bukan merupakan hubungan pengaut untung sebagaimana antara penjual dan pembeli ataupun hubungan antara pemungut cukai dengan pembayar cukai, apatah lagi hubungan ‘penghisap darah’ dengan mangsanya. Hubungan yang wujud adalah satu ikatan yang mulia yakni hubungan antara pelayan/pemelihara dengan orang yang wajib dilayan/dipelihara. Sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Imam (pemimpin) itu adalah pemelihara, dan dia akan dipertanggungjawabkan dari apa yang dipeliharanya (rakyatnya)” [HR Bukhari].
Pemerintah kaum Muslimin yang zalim dan jahil cuba menjelaskan kepada rakyat bahawa mereka memungut cukai bukan untuk kepentingan mereka tetapi untuk kepentingan rakyat. Alangkah pelik dan naifnya dalih ini! Bukan setakat itu, malah pelbagai dalih lain lagi terus-menerus diberikan untuk ‘mengindahkan’ kezaliman mereka. Mereka berdalih atas alasan pembangunan dan kesejahteraan, mereka berdalih bahawa mereka tidak pernah mengambil untung, ia adalah milik syarikat konsesi. Kerajaan menyatakan bahawa mereka telah banyak memberi subsidi dan menanggung rugi. Persoalannya, jika demikian, kenapakah kerajaan menandatangani satu perjanjian yang nyata-nyata boleh merugikan mereka? Kenapakah kerajaan membuat satu perjanjian yang mereka tahu bahawa ia adalah berat sebelah dan menyengsarakan rakyat? Dalam menandatangani perjanjian tersebut, kepentingan siapakah yang dijaga oleh kerajaan, kepentingan rakyat atau kepentingan para kapitalis yang sudah sememangnya kaya? Lebih buruk, mereka menyatakan bahawa di dalam Islam tidak salah untuk memungut cukai malah dibolehkan untuk tujuan pembangunan dan sebagainya. Nampaknya mereka ini tidak pernah merujuk kepada hukum syara’ di dalam membuat perjanjian, tapi hanya mengikut hawa semata-mata.
Sesungguhnya memungut cukai adalah satu perbuatan yang jelas-jelas haram di sisi Islam dan terdapat banyak nas yang mengharamkannya. Sabda Rasul Sallalahu 'alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya tidak akan masuk syurga orang yang memungut cukai (mukus)” [HR Ahmad, Abu Daud & Hakim]. Rasulullah juga bersabda, “Sesungguhnya pemungut cukai itu berada dalam neraka” [HR Ahmad]. Kita mesti ingat bahawa Nabi Sallallahu alaihi wa Sallam adalah orang yang paling menjaga kebajikan dan kesejahteraan rakyat, namun tidak pernah diriwayatkan bahawa baginda memungut cukai atas alasan untuk memperoleh pendapatan negara, untuk kepentingan rakyat, untuk pembangunan negara dan sebagainya. Tidak pernah terjadi bahawa Rasulullah melakukan hal ini, malah yang berlaku adalah sebaliknya, bahawa apabila mendengar sahaja ada pungutan cukai ke atas barangan yang diimport di sempadan, Rasulullah terus melarangnya. Sabda baginda, “Sekiranya kamu mendapati pemungut usyur (cukai yang dipungut di sempadan @ cukai import-export), maka bunuhlah dia” [HR Ahmad]. Begitulah jelasnya nas yang mengharamkan cukai di dalam Islam.
Selain nas haramnya memungut cukai, terdapat nas lain yang menjelaskan bahawa tidak boleh mengambil harta kaum Muslimin tanpa izin mereka. Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Harta seseorang Muslim itu tidak dihalalkan (bagi orang lain) selain dengan kerelaannya.” Rasulullah juga bersabda, “Harta, kehormatan dan darah seorang Muslim diharamkan ke atas Muslim lainnya” [HR Abu Daud & Ibnu Majah]. Di dalam al-Qur’anul Kareem, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kamu...” [TMQ an-Nisa’ (4):29]. Tindakan mengenakan tol (cukai) adalah jelas merupakan satu tindakan di mana harta seseorang Muslim itu diambil secara paksa dari mereka dan perbuatan ini nyata-nyata haram di dalam Islam.
Orang-orang jahil sering melontarkan pertanyaan - jika tidak dipungut cukai, dari manakah negara akan memperolehi pendapatannya? Jika mereka ini benar-benar ikhlas di dalam pertanyaan, maka mereka sepatutnya belajar Sistem Ekonomi Islam (Nizamul Iqtisad Fil Islam) dengan betul dan benar (bukan mengikut acuan Kapitalis), yang mana mereka wajib merujuk kepada sistem ekonomi yang dijalankan oleh Rasulullah dan Khulafa’ Rasyidin. Insya Allah mereka akan dapati bahawa Islam telah lama menyelesaikan masalah ekonomi manusia dengan tuntas dan sempurna. Mereka akan dapati bahawa dalam ekonomi Islam, pendapatan negara diperoleh dari Anfal, Ghanimah, Fai', Kharaj, Jizyah, 'Usyur, Khumus, Rikaz dan beberapa sumber lain yang diizinkan syara’ termasuk Dharibah. Selain daripada harta yang diizinkan oleh Allah untuk mengambilnya, maka secara mutlaknya harta yang lain tidak boleh diambil (haram). Ini kerana harta seseorang Muslim itu tidak boleh diambil walaupun sedikit melainkan dengan cara yang hak mengikut ketetapan syara’, sepertimana yang telah ditunjukkan oleh dalil-dalil secara terperinci. Sementara itu tidak ada satu dalil pun yang menjelaskan bolehnya mengambil cukai daripada seorang Muslim selain daripada mekanisme yang telah ditetapkan oleh syara’.
Inilah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul dalam menjelaskan bentuk harta yang boleh dipungut dan yang tidak boleh dipungut daripada rakyat. Dalam permasalahan tol ini, secara mutlak, pungutan tol (cukai) adalah satu aktiviti yang diharamkan oleh syara’ tidak kira sama ada ianya dilaksanakan oleh negara ataupun oleh pihak swasta (syarikat konsesi). Ini kerana lebuh raya, jambatan dan sebagainya adalah termasuk infrastruktur negara yang wajib disediakan oleh negara dan dinikmati oleh setiap rakyat secara percuma. Tidak timbul persoalan bahawa mereka yang tidak mahu atau tidak mampu membayar tol boleh menggunakan laluan alternatif yang tidak dikenakan tol. Ini kerana, dalam pemenuhan tanggungjawab ini, syara’ tidak membezakan kelayakan mereka yang boleh menikmati kemudahan tersebut. Kaya atau miskin, mampu atau tidak masing-masing mempunyai hak yang sama untuk menikmati prasarana ini. Malah, membezakan penyediaan infrastruktur bagi orang-orang yang mampu dan tidak mampu hanyalah satu bentuk kezaliman, penindasan dan diskriminasi, malah ia akan menyuburkan nilai kasta di dalam masyarakat.
Kedudukan Baitul Mal & Dharibah
Baitul Mal adalah sebuah autoriti yang bertanggungjawab terhadap setiap pendapatan dan perbelanjaan negara yang menjadi hak kaum Muslimin. Oleh itu, setiap harta sama ada tanah, bangunan, bahan galian, wang atau barangan apa pun yang mana kaum Muslimin berhak ke atasnya mengikut hukum syara’, maka ia menjadi hak Baitul Mal (untuk diuruskan). Apabila suatu harta telah diambil, maka dengan penerimaan ini, harta tersebut akan dikategorikan sebagai hak Baitul Mal, tidak kira sama ada harta tersebut telah dimasukkan ke dalam tempat simpanan harta ataupun tidak. Ini kerana yang dimaksudkan dengan ‘Baitul Mal’ adalah suatu ‘autoriti’, bukan sahaja sekadar sebuah ‘tempat simpanan’. Jadi, keseluruhan hak harta yang perlu diuruskan bagi kaum Muslimin merupakan hak (atau autoriti) Baitul Mal.
Sesungguhnya Islam telah menjelaskan sumber pendapatan dan perbelanjaan Baitul Mal dengan terperinci. Rasulullah dan Abu Bakar adalah orang yang senantiasa memungut dan membelanjakan harta Baitul Mal untuk kepentingan kaum Muslimin, mengikut ketentuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pada zaman Khalifah Umar al-Khattab pula, apabila Daulah Islam telah semakin besar dan jumlah orang yang memasuki Islam semakin ramai, beliau telah memperkemas dan mensistematikkan lagi kedudukan Baitul Mal demi untuk mengatur kemaslahatan kaum Muslimin dengan sebaik-baiknya. Di dalam mengurus ekonomi negara, pemerintah wajib terikat dengan hukum Allah di mana segala perbelanjaan yang perlu dikeluarkan dari Baitul Mal hendaklah sesuai dengan tuntutan syara’. Dalam menguruskan keperluan rakyat, syara’ telah mengklasifikasikan perbelanjaan Baitul Mal kepada dua; Pertama, keperluan yang dituntut dari Baitul Mal (yang mana perbelanjaannya mesti diambil daripada sumber-sumber tetap Baitul Mal yang dinyatakan tadi) dan kedua, keperluan yang dituntut daripada semua orang Islam yang mana negara diberikan hak untuk memungut sebahagian daripada harta orang-orang Islam untuk pemenuhannya. Pengambilan harta (dari orang Islam) inilah yang disebut sebagai dharibah (sejenis pungutan) yang dibenarkan oleh syara’ untuk dipungut oleh negara dan menjadi tanggungjawab negara untuk membelanjakannya dengan hak.
Perlu ditegaskan bahawa dharibah bukanlah ‘cukai’ sebagaimana yang sering disalahtafsir atau yang dijadikan hujah oleh mereka yang jahil untuk membolehkan cukai. Dharibah adalah satu bentuk ‘pungutan khas’ yang dikutip dari kaum Muslimin yang kaya/layak sahaja, itu pun hanya pada keadaan Baitul Mal mengalami defisit atau tidak cukup untuk melaksanakan apa jua kewajipan oleh negara. Tidak boleh memungut dharibah jika Baitul Mal negara masih mencukupi. Ia hanya dipungut di dalam keadaan negara yang amat terdesak (urgent) sehingga jika tidak dipungut, maka sebuah kewajipan akan terabai. Dharibah hanya boleh dipungut dalam keadaan-keadaan berikut sahaja, (i) Untuk memenuhi keperluan asas (makan/pakai/kediaman) orang-orang fakir dan miskin (ii) Untuk pembiayaan jentera pentadbiran negara agar negara tetap berfungsi sebagai pemelihara rakyat seperti gaji kakitangan dan prasarana pentadbiran (iii) Untuk penyediaan kemudahan awam seperti jalan raya, hospital, masjid, sekolah dan seumpamanya (iv) Untuk pemulihan situasi selepas rakyat ditimpa bencana alam seperti banjir, ribut taufan, gempa bumi, tanah runtuh dan seumpamanya (v) Untuk keperluan jihad fi sabilillah.
Dharibah bukanlah seperti cukai yang ada sekarang (dalam sistem ekonomi kapitalisme) kerana (i) Ia bersumberkan wahyu dan diambil dari hadis Rasulullah Sallahu 'alaihi wa Sallam dan juga Ijmak Sahabat (ii) Ia bukan sumber tetap pendapatan negara kerana ia dikutip hanya ketika Baitul Mal mengalami defisit serta berdepan dengan situasi yang kritikal sahaja dan ia tidak dikutip secara berpanjangan (iii) Ia hanya dikutip dari kaum Muslimin yang kaya/layak mengikut kadar yang ma’aruf sehingga mencukupi kadar yang diperlukan sahaja (iv) Ia diguna untuk memberikan perkhidmatan kepada rakyat/negara, bukan untuk kepentingan peribadi pemerintah ataupun kroni.
Berbalik kepada perbincangan tentang jalan raya sebagai sebuah prasarana awam, sekiranya satu lebuh raya dibina atas dasar untuk menambah jalan raya yang sedia ada sedangkan jalan raya alternatif masih boleh digunakan, maka hal ini mengikut ulama fikih, termasuk dalam kategori pertama, iaitu ia termasuk dalam kewajipan Baitul Mal yang hanya dilakukan bila tabungannya ada. Jika tabungan tidak ada atau tidak mencukupi, maka projek ini tidak akan dilaksanakan. Jika tabungan Baitul Mal tidak mencukupi dan jalan raya yang sedia ada masih boleh digunakan, namun jika negara tetap membina jalan raya yang baru dan mengenakan cukai kepada rakyat, maka negara sebenarnya telah merompak kekayaan rakyatnya dan ini adalah satu kezaliman. Jika lebuh raya yang ada tidak dapat menampung jumlah kenderaan yang semakin banyak dan negara memandang bahawa demi kemaslahatan rakyat, rakyat perlu kepada lebuh raya baru, maka negara perlu membinanya dengan duit dari Baitul Mal. Dalam keadaan ini, jika Baitul Mal telah kehabisan wang, maka negara bolehlah memungut dharibah dari rakyat, tetapi hanya sekadar untuk mencukupkan perbelanjaan tadi sahaja, bukan untuk mengaut keuntungan atau menghisap darah rakyat. Tugas negara di sini hanyalah untuk menghilangkan kemudharatan rakyat, sesuai dengan hadis, “Tidak ada kemudharatan dan tidak boleh memudharatkan” [HR Ibnu Majah dan Daruqutni]. Kewajipan ke atas negara adalah untuk mencabut/menghilangkan kemudaratan dari kaum Muslimin, bukannya ‘memudharatkan’ lagi kaum Muslimin dengan memungut cukai yang haram itu [Ringkasan dari kitab Nizhamul Iqtisad Fil Islam, Syeikh Taqajiyuddin an-Nabhani].
Diambil dari mykhilafah.com
Sebelum kita membincangkan lebih lanjut tentang hukum-hakam yang berkait dengan isu tol ini, perlu difahami dahulu apakah ‘status’ tol itu sendiri. Adakah tol ini sekadar kutipan wang, atau merupakan harga kepada perkhidmatan, atau umpama harga barang dagangan ataupun satu bentuk cukai yang dikenakan kepada rakyat? Jika diteliti dengan pemikiran yang sederhana sekalipun, setiap orang akan tahu bahawa tol adalah satu bentuk cukai yang dikenakan kepada pengguna lebuh raya dalam sesebuah negara. Ia bukan harga kepada perkhidmatan sebagaimana ‘bayaran’ kita menaiki teksi atau bas. Ia juga bukan harga barang dagangan untuk disamakan dengan harga bawang atau gula. Ternyata, tol hakikatnya mempunyai ciri-ciri yang sama dengan cukai dan ia adalah bentuk cukai yang dipungut ke atas seseorang yang melalui jalanraya/jambatan. Cuma bezanya, tol ini dikutip oleh individu (syarikat swasta) dan bukannya oleh negara (pemerintah). Apa pun, ia dikutip dengan izin/persetujuan dari negara. Justeru, tidak keterlaluan jika dikatakan konsep tol ini tidak ada bezanya dengan cukai jalan/jambatan yang dikutip oleh kumpulan-kumpulan samseng zaman dahulu kala yang memeras wang daripada orang ramai yang melaluinya.
Mungkin ada yang berpendapat bahawa syarikat-syarikat swasta tersebut telah mencurahkan modal mereka dalam membangunkan infrastruktur lebuh raya yang ada, maka sewajarnyalah mereka mengenakan bayaran sepertimana seorang pengusaha hotel yang mengenakan bayaran kepada mereka yang menginap di hotelnya. Inilah kesalahan pandangan orang yang tidak memahami hakikat tol. Di sinilah pentingnya umat Islam memahami realiti tol, dan seterusnya merujuk pula kepada dalil-dalil syara’ untuk melihat sama ada cukai jalan yang dipungut oleh ‘samseng jalanan’ ini halal atau haram.
Hukum Syara’ Tentang Kemudahan Awam
Islam telah mewajibkan ke atas negara (pemerintah) agar menyediakan segala bentuk kemudahan awam untuk kemaslahatan rakyat. Jalan raya adalah salah satu darinya. Segala infrastruktur lain seperti sistem pengangkutan, bekalan air, elektrik (sumber tenaga), hospital sekolah dan sebagainya wajib disediakan oleh negara secara percuma untuk setiap warganegara. Negara tidak boleh melarikan diri dari tanggungjawab ini atau mengalihkannya kepada individu atau pihak swasta untuk disempurnakan. Islam berbeza sama sekali dengan sistem Kapitalis yang diamalkan pada hari ini di mana sistem Kapitalis membenarkan mana-mana individu atau pun syarikat swasta untuk menyediakan infrastruktur-infrastruktur asas negara dan mengaut keuntungan darinya. Dalam sistem Islam, pemerintah itu bertugas untuk melayan rakyat dan salah satu bentuk pelayanan terhadap rakyat adalah penyediaan kemudahan-kemudahan asas ini. Perbelanjaan untuk membina dan menguruskannya diambil dari Baitul Mal. Di sinilah Baitul Mal berperanan dalam menguruskan perbelanjaan negara dalam melaksanakan semua kewajipan negara yang diperuntukkan oleh syara’.
Perlu difahami bahawa dengan mengatakan segenap keperluan ini menjadi tanggungjawab negara tidaklah bermaksud negara perlu membina semua kemudahan tersebut dengan sendiri. Negara dibenarkan mengupah syarikat-syarikat swasta untuk membina kemudahan-kemudahan tersebut bagi pihak negara dan mereka berhak untuk mendapat upah membangunkan infrastruktur tersebut. Mereka juga dibenarkan untuk mendapat upah atas kerja-kerja penyelenggaraan yang dilakukan. Apa yang tidak dibenarkan oleh syara’ adalah syarikat-syarikat tersebut ‘memiliki’ kemudahan tersebut dan mendapat keuntungan daripada bayaran yang dipungut dari rakyat yang menggunakan kemudahan yang disediakan. Inilah yang salah (sebagaimana di amalkan sekarang). Ini kerana pada asasnya, ia menjadi kewajipan negara untuk menyediakannya dan rakyat telah diberikan hak oleh syara’ ke atas kemudahan-kemudahan untuk dinikmati secara percuma. Pemberian hak kepada syarikat swasta untuk ‘memperniagakan’ kemudahan-kemudahan ini adalah satu pencabulan ke atas ketentuan syara’. Tindakan seperti ini tidak ada bezanya dengan seorang bapa yang mengupah seorang tukang rumah membina rumah mereka, lalu mengenakan bayaran kepada anak isterinya selama mana mereka tinggal di rumah tersebut!
Di sinilah umat Islam perlu memahami dan membezakan di antara hak dan kewajipan. Menyediakan kemudahan asas adalah kewajipan/tanggungjawab pemerintah dan menikmati kemudahan tersebut adalah hak rakyat. Apabila disebut kewajipan, maka ia adalah berkait dengan soal hukum syara’ (dan wajib merujuk kepada hukum syara’) dan nas syara’ dalam hal ini menjelaskan bahawa ia wajib disediakan secara percuma oleh orang yang ditaklifkan kewajipan tersebut (pemerintah). Jadi, haram bagi pemerintah memungut apa-apa bayaran di dalam menunaikan kewajipan ini. Ia umpama kewajipan/tanggungjawab seorang bapa untuk menyediakan rumah, makan dan pakai kepada anak isterinya. Haram bagi si bapa (yang ditaklifkan kewajipan tersebut) untuk memberi makan atau membeli baju untuk anak isterinya, kemudian mengenakan bayaran terhadap mereka. Haram juga bagi bapa/suami yang tinggal sebumbung dengan anak dan isteri, kemudian mengenakan bayaran sewa rumah kepada orang yang wajib dipeliharanya. Tempat tinggal dan nafkah adalah hak anak/isteri yang wajib di beri secara percuma. Begitulah haramnya bagi kerajaan membina segala kemudahan asas, kemudian mengenakan bayaran terhadap rakyatnya, walhal itu adalah kewajipan/tanggungjawab kerajaan di dalam melayani orang yang wajib dipeliharanya (rakyatnya) dan bagi rakyat pula, ia adalah hak yang mesti dinikmati secara percuma.
Tol Dari Perspektif Syara’
Adalah teramat jelas di dalam Islam bahawa tugas dan amanah yang diletakkan oleh Allah ke atas bahu pemimpin adalah untuk menjaga/memelihara rakyat. Di dalam sektor kemudahan awam, negara bertugas untuk membina segala infrastruktur dan menyelianya dan tidak boleh sama sekali bagi negara untuk menjadikannya sebagai milik swasta/negara, apatah lagi mengambil untung darinya. Dalam sesebuah pemerintahan yang mengamalkan ideologi Kapitalis (termasuk Malaysia), kerajaan dan kroni kerap menjadi penghisap darah rakyat. Kerajaan dan kroni semakin untung dan kaya raya manakala rakyat semakin menderita dan sengsara. Kerajaan bukan lagi menjadi pemelihara rakyat, namun menjadi pihak yang menzalimi dan menindas rakyat. Ada pun di dalam Islam, hubungan kerajaan dengan rakyat bukan merupakan hubungan pengaut untung sebagaimana antara penjual dan pembeli ataupun hubungan antara pemungut cukai dengan pembayar cukai, apatah lagi hubungan ‘penghisap darah’ dengan mangsanya. Hubungan yang wujud adalah satu ikatan yang mulia yakni hubungan antara pelayan/pemelihara dengan orang yang wajib dilayan/dipelihara. Sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Imam (pemimpin) itu adalah pemelihara, dan dia akan dipertanggungjawabkan dari apa yang dipeliharanya (rakyatnya)” [HR Bukhari].
Pemerintah kaum Muslimin yang zalim dan jahil cuba menjelaskan kepada rakyat bahawa mereka memungut cukai bukan untuk kepentingan mereka tetapi untuk kepentingan rakyat. Alangkah pelik dan naifnya dalih ini! Bukan setakat itu, malah pelbagai dalih lain lagi terus-menerus diberikan untuk ‘mengindahkan’ kezaliman mereka. Mereka berdalih atas alasan pembangunan dan kesejahteraan, mereka berdalih bahawa mereka tidak pernah mengambil untung, ia adalah milik syarikat konsesi. Kerajaan menyatakan bahawa mereka telah banyak memberi subsidi dan menanggung rugi. Persoalannya, jika demikian, kenapakah kerajaan menandatangani satu perjanjian yang nyata-nyata boleh merugikan mereka? Kenapakah kerajaan membuat satu perjanjian yang mereka tahu bahawa ia adalah berat sebelah dan menyengsarakan rakyat? Dalam menandatangani perjanjian tersebut, kepentingan siapakah yang dijaga oleh kerajaan, kepentingan rakyat atau kepentingan para kapitalis yang sudah sememangnya kaya? Lebih buruk, mereka menyatakan bahawa di dalam Islam tidak salah untuk memungut cukai malah dibolehkan untuk tujuan pembangunan dan sebagainya. Nampaknya mereka ini tidak pernah merujuk kepada hukum syara’ di dalam membuat perjanjian, tapi hanya mengikut hawa semata-mata.
Sesungguhnya memungut cukai adalah satu perbuatan yang jelas-jelas haram di sisi Islam dan terdapat banyak nas yang mengharamkannya. Sabda Rasul Sallalahu 'alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya tidak akan masuk syurga orang yang memungut cukai (mukus)” [HR Ahmad, Abu Daud & Hakim]. Rasulullah juga bersabda, “Sesungguhnya pemungut cukai itu berada dalam neraka” [HR Ahmad]. Kita mesti ingat bahawa Nabi Sallallahu alaihi wa Sallam adalah orang yang paling menjaga kebajikan dan kesejahteraan rakyat, namun tidak pernah diriwayatkan bahawa baginda memungut cukai atas alasan untuk memperoleh pendapatan negara, untuk kepentingan rakyat, untuk pembangunan negara dan sebagainya. Tidak pernah terjadi bahawa Rasulullah melakukan hal ini, malah yang berlaku adalah sebaliknya, bahawa apabila mendengar sahaja ada pungutan cukai ke atas barangan yang diimport di sempadan, Rasulullah terus melarangnya. Sabda baginda, “Sekiranya kamu mendapati pemungut usyur (cukai yang dipungut di sempadan @ cukai import-export), maka bunuhlah dia” [HR Ahmad]. Begitulah jelasnya nas yang mengharamkan cukai di dalam Islam.
Selain nas haramnya memungut cukai, terdapat nas lain yang menjelaskan bahawa tidak boleh mengambil harta kaum Muslimin tanpa izin mereka. Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Harta seseorang Muslim itu tidak dihalalkan (bagi orang lain) selain dengan kerelaannya.” Rasulullah juga bersabda, “Harta, kehormatan dan darah seorang Muslim diharamkan ke atas Muslim lainnya” [HR Abu Daud & Ibnu Majah]. Di dalam al-Qur’anul Kareem, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kamu...” [TMQ an-Nisa’ (4):29]. Tindakan mengenakan tol (cukai) adalah jelas merupakan satu tindakan di mana harta seseorang Muslim itu diambil secara paksa dari mereka dan perbuatan ini nyata-nyata haram di dalam Islam.
Orang-orang jahil sering melontarkan pertanyaan - jika tidak dipungut cukai, dari manakah negara akan memperolehi pendapatannya? Jika mereka ini benar-benar ikhlas di dalam pertanyaan, maka mereka sepatutnya belajar Sistem Ekonomi Islam (Nizamul Iqtisad Fil Islam) dengan betul dan benar (bukan mengikut acuan Kapitalis), yang mana mereka wajib merujuk kepada sistem ekonomi yang dijalankan oleh Rasulullah dan Khulafa’ Rasyidin. Insya Allah mereka akan dapati bahawa Islam telah lama menyelesaikan masalah ekonomi manusia dengan tuntas dan sempurna. Mereka akan dapati bahawa dalam ekonomi Islam, pendapatan negara diperoleh dari Anfal, Ghanimah, Fai', Kharaj, Jizyah, 'Usyur, Khumus, Rikaz dan beberapa sumber lain yang diizinkan syara’ termasuk Dharibah. Selain daripada harta yang diizinkan oleh Allah untuk mengambilnya, maka secara mutlaknya harta yang lain tidak boleh diambil (haram). Ini kerana harta seseorang Muslim itu tidak boleh diambil walaupun sedikit melainkan dengan cara yang hak mengikut ketetapan syara’, sepertimana yang telah ditunjukkan oleh dalil-dalil secara terperinci. Sementara itu tidak ada satu dalil pun yang menjelaskan bolehnya mengambil cukai daripada seorang Muslim selain daripada mekanisme yang telah ditetapkan oleh syara’.
Inilah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul dalam menjelaskan bentuk harta yang boleh dipungut dan yang tidak boleh dipungut daripada rakyat. Dalam permasalahan tol ini, secara mutlak, pungutan tol (cukai) adalah satu aktiviti yang diharamkan oleh syara’ tidak kira sama ada ianya dilaksanakan oleh negara ataupun oleh pihak swasta (syarikat konsesi). Ini kerana lebuh raya, jambatan dan sebagainya adalah termasuk infrastruktur negara yang wajib disediakan oleh negara dan dinikmati oleh setiap rakyat secara percuma. Tidak timbul persoalan bahawa mereka yang tidak mahu atau tidak mampu membayar tol boleh menggunakan laluan alternatif yang tidak dikenakan tol. Ini kerana, dalam pemenuhan tanggungjawab ini, syara’ tidak membezakan kelayakan mereka yang boleh menikmati kemudahan tersebut. Kaya atau miskin, mampu atau tidak masing-masing mempunyai hak yang sama untuk menikmati prasarana ini. Malah, membezakan penyediaan infrastruktur bagi orang-orang yang mampu dan tidak mampu hanyalah satu bentuk kezaliman, penindasan dan diskriminasi, malah ia akan menyuburkan nilai kasta di dalam masyarakat.
Kedudukan Baitul Mal & Dharibah
Baitul Mal adalah sebuah autoriti yang bertanggungjawab terhadap setiap pendapatan dan perbelanjaan negara yang menjadi hak kaum Muslimin. Oleh itu, setiap harta sama ada tanah, bangunan, bahan galian, wang atau barangan apa pun yang mana kaum Muslimin berhak ke atasnya mengikut hukum syara’, maka ia menjadi hak Baitul Mal (untuk diuruskan). Apabila suatu harta telah diambil, maka dengan penerimaan ini, harta tersebut akan dikategorikan sebagai hak Baitul Mal, tidak kira sama ada harta tersebut telah dimasukkan ke dalam tempat simpanan harta ataupun tidak. Ini kerana yang dimaksudkan dengan ‘Baitul Mal’ adalah suatu ‘autoriti’, bukan sahaja sekadar sebuah ‘tempat simpanan’. Jadi, keseluruhan hak harta yang perlu diuruskan bagi kaum Muslimin merupakan hak (atau autoriti) Baitul Mal.
Sesungguhnya Islam telah menjelaskan sumber pendapatan dan perbelanjaan Baitul Mal dengan terperinci. Rasulullah dan Abu Bakar adalah orang yang senantiasa memungut dan membelanjakan harta Baitul Mal untuk kepentingan kaum Muslimin, mengikut ketentuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pada zaman Khalifah Umar al-Khattab pula, apabila Daulah Islam telah semakin besar dan jumlah orang yang memasuki Islam semakin ramai, beliau telah memperkemas dan mensistematikkan lagi kedudukan Baitul Mal demi untuk mengatur kemaslahatan kaum Muslimin dengan sebaik-baiknya. Di dalam mengurus ekonomi negara, pemerintah wajib terikat dengan hukum Allah di mana segala perbelanjaan yang perlu dikeluarkan dari Baitul Mal hendaklah sesuai dengan tuntutan syara’. Dalam menguruskan keperluan rakyat, syara’ telah mengklasifikasikan perbelanjaan Baitul Mal kepada dua; Pertama, keperluan yang dituntut dari Baitul Mal (yang mana perbelanjaannya mesti diambil daripada sumber-sumber tetap Baitul Mal yang dinyatakan tadi) dan kedua, keperluan yang dituntut daripada semua orang Islam yang mana negara diberikan hak untuk memungut sebahagian daripada harta orang-orang Islam untuk pemenuhannya. Pengambilan harta (dari orang Islam) inilah yang disebut sebagai dharibah (sejenis pungutan) yang dibenarkan oleh syara’ untuk dipungut oleh negara dan menjadi tanggungjawab negara untuk membelanjakannya dengan hak.
Perlu ditegaskan bahawa dharibah bukanlah ‘cukai’ sebagaimana yang sering disalahtafsir atau yang dijadikan hujah oleh mereka yang jahil untuk membolehkan cukai. Dharibah adalah satu bentuk ‘pungutan khas’ yang dikutip dari kaum Muslimin yang kaya/layak sahaja, itu pun hanya pada keadaan Baitul Mal mengalami defisit atau tidak cukup untuk melaksanakan apa jua kewajipan oleh negara. Tidak boleh memungut dharibah jika Baitul Mal negara masih mencukupi. Ia hanya dipungut di dalam keadaan negara yang amat terdesak (urgent) sehingga jika tidak dipungut, maka sebuah kewajipan akan terabai. Dharibah hanya boleh dipungut dalam keadaan-keadaan berikut sahaja, (i) Untuk memenuhi keperluan asas (makan/pakai/kediaman) orang-orang fakir dan miskin (ii) Untuk pembiayaan jentera pentadbiran negara agar negara tetap berfungsi sebagai pemelihara rakyat seperti gaji kakitangan dan prasarana pentadbiran (iii) Untuk penyediaan kemudahan awam seperti jalan raya, hospital, masjid, sekolah dan seumpamanya (iv) Untuk pemulihan situasi selepas rakyat ditimpa bencana alam seperti banjir, ribut taufan, gempa bumi, tanah runtuh dan seumpamanya (v) Untuk keperluan jihad fi sabilillah.
Dharibah bukanlah seperti cukai yang ada sekarang (dalam sistem ekonomi kapitalisme) kerana (i) Ia bersumberkan wahyu dan diambil dari hadis Rasulullah Sallahu 'alaihi wa Sallam dan juga Ijmak Sahabat (ii) Ia bukan sumber tetap pendapatan negara kerana ia dikutip hanya ketika Baitul Mal mengalami defisit serta berdepan dengan situasi yang kritikal sahaja dan ia tidak dikutip secara berpanjangan (iii) Ia hanya dikutip dari kaum Muslimin yang kaya/layak mengikut kadar yang ma’aruf sehingga mencukupi kadar yang diperlukan sahaja (iv) Ia diguna untuk memberikan perkhidmatan kepada rakyat/negara, bukan untuk kepentingan peribadi pemerintah ataupun kroni.
Berbalik kepada perbincangan tentang jalan raya sebagai sebuah prasarana awam, sekiranya satu lebuh raya dibina atas dasar untuk menambah jalan raya yang sedia ada sedangkan jalan raya alternatif masih boleh digunakan, maka hal ini mengikut ulama fikih, termasuk dalam kategori pertama, iaitu ia termasuk dalam kewajipan Baitul Mal yang hanya dilakukan bila tabungannya ada. Jika tabungan tidak ada atau tidak mencukupi, maka projek ini tidak akan dilaksanakan. Jika tabungan Baitul Mal tidak mencukupi dan jalan raya yang sedia ada masih boleh digunakan, namun jika negara tetap membina jalan raya yang baru dan mengenakan cukai kepada rakyat, maka negara sebenarnya telah merompak kekayaan rakyatnya dan ini adalah satu kezaliman. Jika lebuh raya yang ada tidak dapat menampung jumlah kenderaan yang semakin banyak dan negara memandang bahawa demi kemaslahatan rakyat, rakyat perlu kepada lebuh raya baru, maka negara perlu membinanya dengan duit dari Baitul Mal. Dalam keadaan ini, jika Baitul Mal telah kehabisan wang, maka negara bolehlah memungut dharibah dari rakyat, tetapi hanya sekadar untuk mencukupkan perbelanjaan tadi sahaja, bukan untuk mengaut keuntungan atau menghisap darah rakyat. Tugas negara di sini hanyalah untuk menghilangkan kemudharatan rakyat, sesuai dengan hadis, “Tidak ada kemudharatan dan tidak boleh memudharatkan” [HR Ibnu Majah dan Daruqutni]. Kewajipan ke atas negara adalah untuk mencabut/menghilangkan kemudaratan dari kaum Muslimin, bukannya ‘memudharatkan’ lagi kaum Muslimin dengan memungut cukai yang haram itu [Ringkasan dari kitab Nizhamul Iqtisad Fil Islam, Syeikh Taqajiyuddin an-Nabhani].
Diambil dari mykhilafah.com
Subscribe to:
Posts (Atom)